Review Film “Rumah Untuk Alie”: Luka Terbesar Bernama Keluarga – Sebuah Surat Terbuka Untuk Orang Tua di Seluruh Dunia

Selamat datang di rumah-tempat di mana trauma disajikan tiga kali sehari, diselingi bentakan, diakhiri kalimat “Kami ini orang tua, tahu yang terbaik”. Film “Rumah Untuk Alie” tidak datang untuk menghibur. Ia hadir untuk membuka lama, menggaruknya tanpa ampun, dan menertawakan absurditas konsep “keluarga harmonis” yang terlalu sering hanya hidup di baliho kampanye dan iklan susu formula.

Alie adalah anak yang tidak minta lahir, tapi justru dituduh membunuh ibunya sendiri. Karena tentu saja, di dunia yang absurd ini, anak 11 tahun bisa dituduh menyumbang kematian seorang dewasa hanya karena… dia hidup. Lima tahun kemudian, dia tinggal serumah dengan ayah dan empat kakaknya yang memperlakukannya seperti hantu rumah tangga-ada tapi tidak boleh bersuara, hidup tapi harus merasa bersalah.

Dan lucunya, film ini bukan fiksi aneh. Ini adalah autobiografi kolektif bangsa kita, yang percaya bahwa anak baik adalah anak yang diam, patuh, dan tahan banting. Kalau kamu menangis karena dibentak, berarti kamu cengeng. Kalau kamu sakit hati, berarti kamu tidak bersyukur. Dan kalau kamu trauma? Ya sudah, simpan sendiri. Jangan malu-maluin keluarga.

Salah satu adegan di film Rumah Untuk Alie (foto: YouTube cinema 21)

Antantya Kirana Tidak Berakting , Dia Bertahan Hidup

Sebagai Alie, Anantya Kirana tampil bukan sebagai aktris, tapi sebagai korban sistem keluarga yang selalu ingin terlihat utuh di luar, tetapi retak di dalam. Wajahnya kosong tetapi penuh. Tangisnya tidak teatrikal, karena luka seperti ini tidak perlu panggung-cukup tatapan kosong di meja makan, cukup sunyi saat tidak ada yang menanyakan “kamu kenapa?”

Satu-satunya akting yang terlihat mencolok di film ini justru datang dari karakter kakak dan ayah Alie: akting pura-pura jadi manusia.

Rumah: Tempat Penuh Cinta (Katanya)

Rumah Alie cantik. Interiornya rapi. Cahayanya hangat. Tapi semuanya palsu. Ini rumah yang dibangun oleh ego, dijaga oleh gengsi, dan diisi oleh orang-orang yang percaya bahwa darah lebih kental daripada air, tapi emosi lebih kuat dari kasih sayang.

Setiap ruangan memantulkan gema: “Kamu bukan bagian dari kami.” Tapi jangan khawatir, itu bukan suara keras. Kekerasan di rumah ini tidak pakai tangan, cukup dengan diam dan tatapan penuh kebencian yang dipoles jadi “cinta orang tua”.

Dari Novel ke Layar Lebar: Dari Sakit ke Lebih Sakit

Lenn Liu sepertinya menulis novel ini sambil menahan napas. Atau menahan air mata. Atau keduanya. Ia tidak menawarkan kisah Cinderella. Alie tidak menemukan pangeran tampan berkuda putih. Tidak ada ibu peri. Yang ada hanya kehidupan nyata: anak disalahkan, keluarga memelihara trauma, dan masyarakat menutup mata.

Adaptasi film oleh Herwin Novianto bukan hanya setia pada cerita, tapi juga menambah satu elemen penting: rasa bersalah kolektif. Setiap penonton akan duduk menonton Alie dan bertanya-tanya, “Apakah aku pernah membuat seseorang merasa seburuk itu?”

Jawabannya: mungkin, iya.

Dialog yang Tidak Perlu Dimaknai-Karena Sudah Terlalu Dikenal

“Kamu itu beban.”

“Kami semua menderita karena kamu.”

“Kamu jangan banyak tingkah. Bersyukur.”

Ini bukan dialog sinetron . Ini adalah kalimat asli yang pernah kita dengar di ruang makan, kamar tidur, bahkan grup WhatsApp keluarga. Film “Rumah Untuk Alie” tidak menciptakan dialog-ia hanya mengutip kenyataan.

Dan justru karena itulah ia begitu menyakitkan.

Film Keluarga? Tidak. Film Tentang Keluarga? Sangat.

Film ini tidak layak tonton saat kumpul keluarga. Karena setelah menontonnya, kamu mungkin akan ingin menatap orang tuamu dan berkata, “Aku tidak baik-baik saja, tahu?”

Tapi justru karena itu, semua keluarga harus menontonnya. Terutama orang tua yang masih percaya bahwa “aku memukul karena sayang” adalah kalimat bijak, bukan pembelaan kekerasan.

Jadi, Apa yang Ditawarkan Film Ini?

Tidak ada pelukan. Tidak ada resolusi dramatis. Tidak ada klimaks penuh air mata yang berakhir dengan pelangi. Yang ada hanya kenyataan: bahwa luka dari orang terdekat akan tinggal lebih lama dari luka fisik. Dari film ini, sialnya, tidak menawarkan obat-hanya kaca untuk bercermin.

Dan ya, kadang bercermin itu lebih menyakitkan daripada dipukul.

Rumah Untuk Alie bukan film sedih. Ia adalah film kejam yang mengingatkan kita bahwa tidak semua luka berasal dari luar. Beberapa justru diciptakan oleh orang yang paling kita cinta, di tempat yang seharusnya kita panggil “rumah”.

Setelah menonton film Rumah Untuk Alie, jangan buru-buru langsung keluar. Duduklah sebentar. Diam lah. Lalu tanya pada dirimu sendiri: “Apakah aku pernah jadi rumah untuk seseorang, atau hanya jadi dinding dingin tanpa pelukan?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *