Oke, kita bahas satu hal dulu: judulnya udah sangar. “Pembantaian Dukun Santet” seolah menjanjikan pertarungan berdarah antara kiai dan ilmu hitam. Tapi begitu nonton, yang dibantai ternyata… ekspektasi penonton.
Film ini mengambil inspirasi dari tragedi nyata Banyuwangi tahun 1998 dan thread dari Jeropoint, yang konon katanya dibumbui mistisisme dan paranoia massal. Tapi alih-alih membedah trauma sosial atau mengulik kegelapan budaya dengan elegan, film ini malah seperti wahana rumah hantu versi murah meriah: teriak-teriak, gelap, terus balik ke titik semula.
Premisnya Menarik, Eksekusinya Bikin Pusing
Di atas kertas, ini film horor yang berpotensi. Bayangin: pondok pesantren diserang dukun-dukun yang ngamuk. Tapi begitu lo duduk manis nonton, yang lo dapet malah plot yang loncat-loncat kayak jin dilempar ke kipas angin. Motivasi penjahat? Gak jelas. Trigger konflik? Entah dari mana. Ustad dan santri? Lebih sering jadi alat jump scare ketimbang karakter utuh.
Naskahnya sendiri terasa seperti ditulis sambil setengah tidur—ada kalimat yang diulang-ulang sampai lo hafal kayak jingle iklan sirup Ramadan. Plot twist? Ketebak banget. Bahkan sebelum setan nongol, lo udah bisa nebak siapa mati duluan. Kacau!

Jump scare for the Sake of Jump scare
Film ini punya satu strategi horor utama: ngagetin orang pake suara keras. Bukan atmosfer, bukan build-up, cuma… BRAGH! Volume naik 300%. Efeknya? Ya lo kaget, tapi bukan karena takut—karena kuping lo nyaris copot.
Padahal ada beberapa momen yang nyaris berhasil. Makeup gore-nya cukup niat, bahkan prostetik luka-lukanya keliatan kasar dengan cara yang pas. Tapi sayang, disandingkan sama CGI yang lebih cocok buat sinetron jam 10 malam, semuanya jadi terasa tanggung. Alamak.
Aurora Ribero, Dukun Santet, dan Karakter yang Tersesat
Aurora Ribero berusaha keras mengangkat film ini, dan jujur aja, dia stand out—meskipun naskah dan penyutradaraannya nggak kasih dia panggung yang layak. Dukun santetnya juga baru “panas” pas film sudah mau habis. Sisanya? Karakter-karakter yang muncul, jerit, mati. Gitu doang.
Kesimpulan: Gagal Jadi Horor, Gagal Jadi Kritik Sosial
Film “Pembantaian Dukun Santet” mungkin niatnya mau jadi horor dengan pesan sosial, tapi yang keluar justru parade kaget-kagetan tanpa arah. Kayak naik wahana rumah hantu tapi lupa keluarin narasi.
Apakah film ini layak tonton? Kalau lo tipe yang menikmati nonton film sambil nyari bahan roasting bareng temen, boleh lah. Tapi kalau lo nyari horor lokal yang beneran bikin merinding dan mikir… mending nonton ulang Pengabdi Setan.