[Nonton Lagi] Film “Racun Sangga”: Ketika Santet Kalimantan Membuat Horor Indonesia (Akhirnya) Sedikit Lebih Segar – Sudah Tayang di Netflix

Ditengah kejemuan sinema horor Indonesia yang masih tergila-gila pada hantu perempuan berambut panjang dari tanah Jawa, hadir film Racun Sangga, sebuah film yang-dengan keberanian yang patut diacungi jempol-memindahkan pusat mistis ke jantung Kalimantan. Ya, Kalimantan, tanah yang selama ini lebih sering diasosiasikan dengan tambang, asap, dan konflik lahan, kini mendapat panggung sebagai ladang santet dan ritual pengusiran roh jahat yang sungguh… kolosal.

Disutradarai Rizal Mantovani (nama yang dulu sempat jadi jaminan mutu horor komersial), Racun Sangga adalah adaptasi dari utas Twitter viral-karena hari ini, semua kisah yang mencekam memang harus lahir dari media sosial, bukan dari riset mendalam atau pengalaman spiritual otentik. Tapi jangan keburu nyinyir. Karena ternyata utas itu mengandung cukup banyak santet, darah, dan trauma rumah tangga untuk dijadikan film utuh berdurasi 90 menit.

Film ini menceritakan Maya (diperankan Frederika Cull yang jelas lebih dari sekedar mantan Putri Indonesia) dan suaminya Andi (Fahad Haydra) yang terkena serangan gaib bernama Racun Sangga-satu jenis santet yang konon tidak hanya menghancurkan tubuh tapi juga merobek fondasi rumah tangga dari dalam. Sejenis toxic relationship tapi dengan bumbu magis.

Yang menarik dari Racun Sangga bukan hanya efek suaranya yang berhasil membuat kita tidak nyaman selama satu setengah jam, tapi juga keberanian film ini melangkah keluar dari lingkungan budaya Jawa yang begitu mendominasi perfilman horor Indonesia. Kita tahu, film horor Indonesia seringkali seperti ujian kesenian: penuh wayang, kemenyan, dan atau hantu berbahasa Jawa halus. Tak salah memang, tapi lama-lama membosankan. Racun Sangga membawa kita ke Kalimantan, memperlihatkan ritual pengusiran santet dengan budaya Dayak yang tidak hanya eksotis, tetapi juga terasa autentik dan… kolosal.

Ya, kolosal. Saat ritual berlangsung, kita tak bisa tidak membandingkannya dengan adegan-adegan pemanggilan arwah atau pengusiran roh dalam drama Korea. Bukan karena Rizal Mantovani mencontek, tapi karena untuk pertama kalinya, film horor lokal ini terasa produksi luar negeri. Ada irama, ada visual, ada bobot. Momen-momen itu seolah berkata: “Lihat, Indonesia juga bisa megah tanpa harus mengemis pada CGI murahan.”

Dan satu hal lagi yang mencengangkan—dalam arti baik: Racun Sangga tidak jatuh pada jebakan horor Indonesia kebanyakan, yakni memperlihatkan makhluk astral dengan dandanan berlebihan. Tidak ada hantu yang disulap jadi cosplay gagal dengan make-up berlapis-lapis, eyeliner tebal, dan rambut panjang ala iklan sampo sambil tertiup angin. Tidak ada makhluk halus yang lebih mirip model fashion show Halloween daripada entitas gaib. Sebuah keputusan artistik yang cerdas, karena sering kali, bukannya takut atau ngeri, yang muncul dari visual horor lokal adalah tawa yang getir. Kita tidak menangis karena takut, tapi karena sedih melihat betapa ngototnya mereka ingin menakut-nakuti—dan gagal.

Tentu, bukan berarti Racun Sangga tanpa cela. Seperti biasa, ending-nya menguap seperti dupa di ujung upacara. Ketegangan yang dibangun dengan baik di awal, mendadak loyo menjelang akhir. Klimaksnya tidak menggigit, lebih mirip gigitan nyamuk daripada cakaran iblis. Tapi mungkin ini juga bagian dari estetika horor Indonesia: membangun mimpi buruk, hanya untuk membangunkan penonton dengan “plot twist” yang lebih sering membuat geleng kepala daripada menahan napas.

Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: film ini menunjukkan bahwa horor Indonesia masih bisa diselamatkan—asal mau menengok ke arah lain. Tidak harus terus-menerus mengandalkan kuburan tua di Jogja atau dukun bertato dari Banyuwangi. Racun Sangga membuka ruang narasi baru. Kalimantan dengan segala kekayaan budayanya mampu menjadi pusat teror yang segar, mistis, dan sangat lokal.

Racun Sangga bisa kembali di saksikan di Netflix mulai 18 April 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *