Siapa sangka kalau di tengah riuh kamoanye moral dadakan, perdebatan akidah, dan seleb Tik Tok yang mendadak jadi pakar parenting, justru film “Jumbo” sekarang sudah mencetak sejarah baru untuk perfilman Indonesia.
Ksatria Kecil “Jumbo” Berhasil Merebut Tahta Ratu Salju “Frozen II”
Diproduksi oleh Visinema Studios dan merupakan debut dari sutradara Ryan Adriandhy, film “Jumbo” saat ini berhasil mencetak rekor sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan meraih lebih dari 5 juta penonton. Tidak hanya itu film “Jumbo” juga berhasil mengalahkan tahta film “Frozen II” produksi Disney Animation Studios untuk perolehan jumlah penonton khusus film animasi di Indonesia. Otomatis, film “Jumbo” sudah menduduki Top 10 untuk film Indonesia terlaris sepanjang masa. Belum cukup, film yang mempunyai karakter utama Don ini, berhasil mendapat predikat sebagai film animasi terlaris di Asia Tenggara dan tayang di 17 Negara.
Film “Jumbo” dan Ketakutan Yang Tidak Imajinatif
Layaknya hukum alam di dunia maya, semakin sukses sebuah karya, semakin tidak logis kritik yang datang untuk film “Jumbo”. Mari kita kembali melihat cerita film ini, Don hanyalah anak kecil biasa yang ingin sekali berdongeng di depan banyak orang lewat buku dongeng peninggalan orang tuanya dengan dibantu kedua temannya, Mae dan Nurman. Lalu mereka bertemu Meri, sosok hantu anak kecil perempuan yang berhati lembut yang meminta pertolongan mereka: Disinilah keributan itu dimulai. Karakter Meri dianggap oleh sebagian netizen ‘merusak akidah anak-anak’. Nilai akidah yang diteriakkan ini hanya melihat satu objek saja yaitu karakter Meri, namun cerita yang bisa membawa anak-anak (dan orang dewasa yang bernostalgia di masa kecil) bisa berimajinasi, justru tidak dilihat.
Hantu, Moralitas, dan Kekeliruan Yang Tidak Lucu
Mari kita jujur, dari dulu sampai sekarang, anak-anak sudah akrab dengan dunia supranatural sejak mereka tahu “Casper” , hantu yang baik yang suka menolong manusia. Lalu sinetron “Bidadari” yang menolong tokoh Lala yang diperankan Marshanda. Atau yang paling terkenal juga sinetron “Tuyul dan Mbak Yul” dan “Jin dan Jun”, yang sudah berbau supranatural tapi ditonton untuk semua umur. Tapi sekarang, mendadak hantu dalam film animasi “Jumbo” justru jadi ancaman teologis. Padahal, Meri layaknya tokoh Casper, bukan sosok hantu yang menyeramkan seperti di film “The Conjuring”. Dia hadir sebagai metafora yaitu memori, trauma dan luka yang belum selesai. Sayangnya arti metafora tersebut tidak selalu kompatibel dengan budaya ‘panik’ untuk sebagian orang yang mendadak menjadi yang sok kritis dengan membawa akidah sebagai senjatanya.

Animasi Lokal, Strategi Global
Kekuatan film “Jumbo” bukan hanya ada di ceritanya saja, namun pada keberhasilannya sebagai IP (Intelectual Property) lokal yang bisa dijual. Semua karakter di filmnya ramah keluarga bahkan merch-friendly. Kampanye di media sosialnya sungguh cerdas, bisa menjangkau dan menggaet banyak kalangan mulai dari pecinta film animasi sampai komunitas parenting. Dan ketika anak-anak minta nonton film ini berkali-kali, orang tua pun tetap ikut menemani bukan karena terhipnotis, tapi karena film “Jumbo” memberi alasan untuk reconnect antara orang tua dan anak lewat layar lebar.
And just like that, Jumbo has shattered records to claim its place among the Top 10 highest-grossing Indonesian movies.
With a staggering 4.975 million admissions and still climbing, this unstoppable phenomenon is rewriting history, nothing can stand in its way now! pic.twitter.com/SoJcKi1yWE
— Cinepoint app official account (@cinepoint_) April 18, 2025
Antara Hantu dan Harapan
Seperti yang sudah disampaikan di atas, film “Jumbo” tayang di 17 Negara yang rencananya di bulan Juni 2025, hal ini menjadikannya pionir film animasi Indonesia dengan jangkau lintas benua. Sebuah pencapaian yang layak dirayakan, bukan untuk dicurigai. Jika karakter hantu Meri adalah alasan sebagian orang untuk menolak film ini, mungkin masalahnya bukan pada filmnya, tapi pada ketakutan kolektif yang belum selesai yaitu ketakutan membiarkan anak-anak berpikir, bertanya dan membayangkan.
Penutup: Imajinasi Lebih Bahaya Dari Hantu?
Film “Jumbo” mungkin sedikit belum sempurna. Tapi film ini jujur, penuh hati, dan berani tampil ringan. Dan Meri? Dia hanyalah sekedar karakter. Jika ada yang perlu dikhawatirkan, mungkin bukan karakter hantu Meri, tapi algoritma yang mereka biarkan membesarkan anak-anak secara diam-diam. Jadi, mari kita sepakati satu hal, film “Jumbo” bukan sekedar cerita anak-anak yang penuh imajinasi, tapi tentang sesuatu yang lebih besar yaitu hak anak untuk bermimpi dan berimajinasi, meskipun ada karakter hantu baik hati dan juga ditengah netizen yang kurang tidur.