Review Film “Perang Kota”: Ketika Kemerdekaan Menjadi Ladang Konflik Batin dan Nafsu

Kembalinya Mouly Surya ke layar lebar lewat Perang Kota adalah sebuah peristiwa sinematik yang tak bisa dilewatkan. Namun seperti kota yang jadi medan tempur dalam film ini, penonton pun terpecah dalam penilaian: apakah ini mahakarya penuh nuansa atau justru parade estetika yang hampa isi?

Visual Memukau, Makna yang Membingungkan

Tak ada yang meragukan kemampuan visual Mouly Surya. Dari tata artistik, busana, hingga pemilihan aspek rasio 4:3 yang menghadirkan kesan klasik—semuanya serba ciamik. Beberapa menyebut film ini sebagai tour de force, bahkan “pembuktian bahwa visi sinematik sejati tak mengenal gender.” Namun di balik kemasan megah itu, entah mengapa film ini terasa kosong makna. “Cantik sekali, namun jujur aja agak kosong,” Ujar seorang penonton dengan nada kecewa yang tak bisa disembunyikan.

Film “Perang Kota” (foto: istimewa)

Drama, Seks, dan Kelas Menengah Jakarta

Dialog-dialognya kadang terasa seperti anak-anak Jakarta Selatan yang terlalu cepat dewasa. Namun yang harus diacungi jempol, Mouly masih menggunakan bahasa Indonesia yang baku untuk film ini, sesuai jaman yang digunakan. Kritik tajam justru datang karena adegan seks dalam film ini “bad taste” dan “lebih banyak membuat ingin memejamkan mata ketimbang membuka wawasan.” Mouly, seperti ingin menelanjangi ironi: bahwa kemerdekaan ternyata bisa menjadi panggung eksistensialisme murahan, dan libido tak kalah dominan dari peluru.

Narasi Terseok, Tapi Bernyali

Film ini bukan untuk semua orang. Pendekatan naratif yang lambat dan kontemplatif membuat sebagian penonton merasa dua jam terasa seperti misi bunuh diri—bukan hanya bagi karakter Isa dan Hazil, tapi juga bagi kesabaran audiens. Namun justru di sanalah keberaniannya. Ia tak menggoda dengan ledakan, tapi dengan luka dalam. Bagi sebagian, ini seperti membaca novel sambil berjalan di ladang ranjau: dalam tapi melelahkan.

Pujian untuk Pemeran, Cemooh untuk Klimaks

Chicco Jerikho dan Ariel Tatum tampil sangat memukau. Namun Dea Panendra sangat mencuri perhatian “beberapa detik lebih bagus” dari Ariel Tatum selama dua jam. Dan sayangnya, akan banyak yang mengingat film ini sebagai “perang ranjang, bukan perang kota.” Ironi semacam ini memperkaya diskursus publik, menjadikan Perang Kota bukan hanya tontonan, tapi juga bahan obrolan—dari kafe hipster hingga utas panjang Twitter.

Akhir Kata: Perang yang Layak Diikuti, Meski Tak Menang Mutlak

Film ini bukanlah Inglourious Basterds, walau sebagian berharap demikian. Ia lebih seperti puisi panjang tentang luka, kehormatan, dan hasrat yang tak selesai. Tak sempurna, tapi berani. Tak selalu menyenangkan, tapi selalu mengundang perdebatan.

Dan bukankah itu tanda sebuah karya penting?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *