Review Film “Pengepungan di Bukit Duri” – Distopia Tanpa Ampun di Ruang Kelas

Sutradara visioner Joko Anwar kembali lagi merilis film terbarunya. Tapi kali ini tanpa hantu ataupun berbau supranatural, tapi tetap membuat bergidik. Dalam film “Pengepungan di Bukit Duri” , Joko Anwar menyuguhkan teror yang sangat nyata: kekerasan, rasisme, dan kekacauan sistem pendidikan dalam balutan distopia di tahun 2027. Tanpa perlu makhluk astral atau hantu dengan balutan busana putih dengan selendang transparan, film ini sudah cukup untuk membuat penonton merasa tidak nyaman dalam arti yang baik.

Sinopsis Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Film ini berfokus pada karakter Edwin (Morgan Oey), seorang guru keturunan Tionghoa yang datang ke SMA Duri yang berada di Jakarta Timur untuk menjadi guru pengganti. Di sana bukan hanya menjadi guru, namun ada misi yang dia sudah janji dengan almarhum kakaknya yaitu: menemukan anak kakaknya. Namun, pencarian Edwin justru membuat dia terseret dengan masalah murid-muridnya yang sering melakukan tindakan kriminal dan tidak segan-segan untuk melawan gurunya sendiri. Masalah lebih bertambah, ketika Edwin terjebak dalam kerusuhan besar yang sedang terjadi dan salah satu muridnya sangat ingin menghabisinya.

Murid-murid bermasalah di film “Pengepungan di Bukit Duri” (Sumber: IMDB)

Visual Distopia Yang Bikin Sesak Nafas

Joko Anwar adalah maestro atmosfer, kita harus akui itu. Setiap adegan di film “Pengepungandi Bukit Duri” begitu memukau secara visual. Joko Anwar bisa dengan mudahnya menggambarkan sekolah yang seolah menjadi Medan tempur, sampai gedung terbakar dan jalanan kacau balau. Perlu diakui, kalau production design-nya benar-benar sudah setara dengan produksi film internasional termasuk Hollywood. Tidak hanya indah, tapi juga menekan dan mengintimidasi. Trigger warning yang sempat jadi perbincangan untuk film ini, bukan hanya gimmick belaka, namun memang sangat memicu. Menonton film ini seperti flashback di kejadian kerusuhan di tahun 1998. Bagi korban atau saksi kerusuhan tahun 1998, film “Pengepungan di Bukit Duri” bisa berpotensi menggugah trauma yang belum sembuh. Tapi, justru disitulah kekuatan film ini yaitu menggugat, mengguncang, dan memaksa kita untuk merenung.

Naskah Tajam dan Bahasa Kasar Yang Relevan

Bagaimana dengan naskah dan dialognya? Sungguh puitis, realistis, dan kasar namun tidak asal-asalan. Bahkan bahasa Gen Z yang dilontarkan para siswa di film ini terasa sangat autentik. Beberapa penonton mungkin terganggu akan bahasa para siswa yang kebanyakan umpatan itu, tapi sebenarnya itu adalah kenyataan di luar ruang bioskop, ini bukan film yang ingin menyenangkan, tapi menyampaikan. Sayangnya, ada sedikit ‘lubang’ yang sulit diabaikan: penyebab kerusuhan tidak dijabarkan secara tuntas. Apakah murni hanya rasisme saja? Atau apakah ini trauma masa lalu? Film “Pengepungan di Bukit Duri” seolah memberi janji di awal untuk membuka akar konflik, tapi tidak sepenuhnya ditepati.

Adegan di film “Pengepungan di Bukit Duri” (Sumber: IMDb)

Plot Twist Yang Terlalu Gampang Ditebak

Setiap film karya Joko Anwar selalu punya plot twist yang susah ditebak, bahkan penonton yang bukan fans Joko Anwar sendiri pun dibuat terkesima bahkan mind blowing ketika melihat adegan plot twist tersebut. Jujur, sedikit kecewa dengan plot twist yang disajikan di film “Pengepungan di Bukit Duri” ini, karena menjelang akhir babak kedua film ini sudah bisa menebak apa yang akan terjadi menjelang akhir film ini. Mohon maaf, kami bisa bilang kalau element of surprise-nya justru kurang.

Organ Oey sebagai Edwin (Sumber: Cinemags)

Akting Sempurna: Semua Pemain Adalah Bintang, Tidak Ada Figuran

Berbicara soal akting, semuanya bermain bagus, walaupun yang hanya tampil satu atau dua scene juga menampilkan penampilan akting yang sempurna. Yang paling bersinar tentu adalah pemeran utama film “Pengepungan di Bukit Duri” ini sendiri yaitu Morgan Oey. Perannya sebagai Edwin adalah pusat gravitasi di film ini. Emosi, Frustasi dan keputusasaan seorang guru yang mencari keponakannya di tengah kekacauan negara yang tidak baik-baik saja dan konfliknya dengan anak didiknya. Karakternya ditampilkan dengan subtil dan menyayat, dan ini adalah performa terbaik Morgan Oey dan pantas masuk radar Piala Citra. Sedangkan Omara Esteghlal sebagai Jefri, tampil totalitas tanpa batas. Seorang antagonis yang kompleks, sempat terbesit di pikiran: Siapa Lagi aktor Yang Cocok Selain Omara? Aktor muda ini sukses membuat penonton benci sekaligus iba dengan karakter Jefri. Lalu kolaborasi peraan sahabat satu kelas Endy Arfian dan Fatih Unru (Kristo & Rangga), menampilkan akting yang level up. Chemistry dan dinamika keduanya dengan karakter lain membuat kita benar-benar peduli dengan nasib mereka di akhir film. Terakhir ada Hana Pitrashata Malasan yang membuktikan kalau dia adalah aktris yang versatile alias selalu tidak pernah gagal menampilkan akting yang sempurna di setiap genre film yang dimainkannya. Aktris yang tampil brutal di film “The Shadow Strays” ini, sukses menampilkan karakternya sebagai Diana yang lembut namun menunjukkan rasa kekhawatiran dengan ekspresi yang tidak berlebihan, very nice!

Omara Esteghlal sebagai Jefri (Sumber: Watchmen)

Aksi Brutal Yang Nyata, Tanpa Gaya-Gayaan

Salut sekali untuk bagian action choreography-nya, semuanya nyata dan tidak dibuat-buat. Berbeda dengan film yang menampilkan adegan berkelahi (bukan fighting), adegan perkelahian geng Jefri melawan Edwin terasa realistis. Tidak ada yang tiba-tiba bisa punya jurus kungfu atau tiba-tiba bisa silat dan juga mungkin bisa mental jauh, semuanya natural. Kita serasa melihat perkelahian sungguhan, inilah poin keseruan ketika menonton film “Pengepungan di Bukit Duri”. Brutal yang sebenarnya dibuat, namun tetap terasa sungguhan.

Salah satu adegan di film “Pengepungan di Bukit Duri” (Sumber: IMDb)

Kesimpulan: Brutal, Menyesakkan, Tapi Wajib Ditonton

Film “Pengepungan di Bukit Duri” adalah film yang mengusik. Mungkin tidak terlalu sempurna, tapi penuh nyawa. Walaupun ada beberapa ‘tambalan’ seperti di character development dan penjelasan latar kerisuhan itu terjadi mungkin dibutuhkan. Tapi film ini tetap berdiri dengan gagah sebagai karya film Indonesia paling ambisius tahun ini. Apakah ini menjadi film favorit kami dari karya Joko Anwar? Mungkin belum. Tapi apakah film ini kayak ditontondi bioskop? Jawaban tanpa ragu: HARUS! Saksikan film “Pengepungan di Bukit Duri” di bioskop dan pilih bioskop dengan studio dengan sistem suara terbail. Karena tata suaranya benar-benar menggelegar. Dan satu lagi: Hanya Joko Anwar yang bisa membuat sekolah terlihat menyeramkan daripada rumah berhantu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *