Lewat Film “Pengepungan di Bukit Duri”, Kalau Bukan Morgan Oey, Siapa Lagi yang Layak Dapat Piala Citra 2025?

Jika kamu masih mengira Morgan Oey adalah personel boyband yang hanya bisa menyanyi sambil menampilkan senyum Pepsodent, film “Pengepungan di Bukit Duri” hadir untuk menampar wajah kamu sekeras kenyataan yang dihadapi karakter Edwin, seorang guru pengganti di sekolah brutal, tempat anak-anak lebih cepat belajar melayangkan tinju daripada menulis puisi.

Ditangan Joko Anwar, Morgan “ditelanjangi” dari segala kemapanan imajinasinya. Hilang sudah wangi parfum mahal dan blazer seragam sinetron prime time. Yang tersisa hanyalah Edwin, lelaki dengan sorot mata kalah perang dan tubuh kurus hasil penurunan 9 kilogram-bukan untuk konten “before after” media sosial, tapi demi menunjukkan bahwa akting pun bisa jadi bentuk pertaruhan tubuh dan jiwa.

Morgan Oey di film Pengepungan di Bukit Duri (foto: YouTube Cinema21)

Dan disinilah keajaiban (atau bencana, tergantung siapa yang menonton) terjadi: Morgan tidak hanya berakting, dia menjadi. Ia mengunyah naskah seperti roti basi dan menyajikannya kembali dengan rasa getir yang menyentuh. Ia bukan hanya guru yang mengajar ditengah kekacauan; ia adalah simbol ketidakberdayaan sipil di negeri yang bahkan tidak bisa melindungi ruang belajar anak-anaknya. Ironi? Mungkin. Tapi juga sangat nyata.

Dalam beberapa adegan kamera menangkap Morgan dengan close-up yang nyaris kejam. Tak ada tempat untuk bersembunyi dari emosi: luka batin, trauma masa lalu, sebagai keturunan Tionghoa, hingga kemarahan yang ia tekan begitu keras hingga kita takut layar bioskop akan meledak. Dan ditengah semua itu, ia tetap tenang-seperti seseorang yang sudah terlalu lelah berharap keadilan.

Kita harus bertanya: apakah ini akting terbaik Morgan Oey sepanjang kariernya? Iya. Tapi pertanyaan yang lebih mengganggu: apakah ia akan mendapat piala Citra untuk itu?

Mari kita tertawa bersama dulu!

Karena sejarah piala Citra sering lebih tertarik pada “akting besar”-teriakan dramatis, linangan air mata dramatis, transformasi wajah dengan protestik, dan tentu saja, nama besar rumah produksi. Akting seperti milik Morgan-halus, penuh luka, subtil, dan disampaikan dengan ketulusan yang membuat kita tidak nyaman-mungkin terlalu sunyi untuk memikat juri. Atau terlalu jujur. Dan kejujuran, sayangnya, masih kalah dengan sensasi.

Apakah Morgan Oey layak menang? Seratus kali iya. Tapi apakah penghargaan kita cukup adil untuk mengenali akting yang tidak memaksa kita menangis, tapi membuat kita ingin diam lama-lama diparkiran bioskop setelah film selesai? Tidak selalu.

Morgan Oey, dengan segala kerentanannya, membuktikan bahwa akting bukan soal seberapa keras kau berteriak, tapi seberapa dalam kau membiarkan dirimu runtuh di depan kamera. Ia menjadikan “Pengepungan di Bukit Duri” bukan sekedar film, tapi pengakuan dosa kolektif kita: bahwa sekolah bisa menjadi medan perang, dan bahwa para guru, seringkali, hanyalah korban yang terlalu lelah untuk berteriak.

Jadi, berikan ia piala Citra. Atau jangan. Tapi setidaknya, jangan sebut lagi Morgan Oey hanya sebagai mantan boyband. Sebut dia aktor. Aktor yang sesungguhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *