Saya selalu percaya bahwa seks bisa jadi ruang diskusi yang paling jujur tentang kekuasaan. Dan Hanung Bramantyo—dengan segala dramatisasi over-the-top-nya—datang seperti dukun terakhir yang berani membacakan mantra: bahwa tubuh perempuan bukan cuma pelengkap adegan, melainkan arena pertarungan sosial-politik yang paling sunyi tapi berdarah.
“Gowok” bukan film tentang seks. Tapi juga bukan film yang malu-malu bicara tentang itu. Di tengah industri yang masih menjadikan tubuh perempuan sebagai ornamen visual, Hanung justru menyuruh tokoh-tokohnya mengutuk balik: “Kami juga punya nafsu, kami juga ingin puas, dan kami tidak perlu mati untuk dianggap suci.”
Tentu saja ini tidak akan nyaman untuk sebagian orang. Apalagi yang masih menggantungkan moralitasnya pada tafsir tunggal dan pengawasan sosial. Tapi di situlah keberanian Hanung terasa. Ia tidak menyembunyikan sensualitas, tapi juga tidak menjualnya. Film ini seksi, tapi bukan cabul. Provokatif, tapi bukan porno. Ia bermain-main di garis tipis antara hasrat dan harapan.

Seks Bukan Nafsu, Tapi Doa
Dalam dunia Hanung, seks bukan cuma pertemuan tubuh, tapi ritual. Bukan cuma birahi, tapi juga spiritualitas. Lewat narasi yang menggabungkan romansa pahit, thriller psikologis, sejarah GERWANI, dan mitologi Jawa yang ditumbuk dalam lesung patriarki, “Gowok” menjadi film yang secara estetika seronok tapi secara ideologis menyakitkan—terutama untuk kaum yang masih percaya bahwa perempuan baik-baik seharusnya tidak berani menginginkan.
Di tengah itu semua, muncul Sri (Nayla D. Purnama), perempuan yang semestinya jadi simbol penyelamatan, malah terasa seperti karakter glitch dalam narasi besar. Ia muncul di saat genting, seperti pahlawan berkuda putih, hanya untuk menghapus jejak tanpa penjelasan. Ada potensi epik di sana, tapi entah kenapa Hanung memilih membiarkannya jadi teka-teki separuh jalan. Apakah Sri ini penebus? Reinkarnasi? Karma? Atau cuma alat plot twist semata?
Perempuan, Seks, dan Balas Dendam Simbolik
Ratri (Raihaanun), tokoh utama di film “Gowok”, tidak diselamatkan oleh cinta, apalagi laki-laki. Ia bertahan karena dendam, kekuatan tubuhnya sendiri, dan hasrat yang selama ini dituduh sebagai dosa. Dalam logika film ini, justru perempuan yang menginginkan menjadi makhluk paling subversif. Maka wajar jika Ratri diposisikan sebagai makhluk separuh mitos: terlalu berani untuk realitas, terlalu nyata untuk dongeng.
Aktris seperti Alika Jantinia dan Nayla D Purnama muncul mengejutkan, menantang dominasi wajah-wajah lama perfilman. Alika, yang biasanya dilabeli aktris serial remeh, menjelma jadi pusat konflik dengan transformasi brutal. Di layar, ia bisa sekuat Reza Rahadian, segila Raihaanun, dan se-karismatik Slamet Rahardjo. Ia bukan hanya “bisa akting”—ia marah, ia bernafsu, dan ia membuat kita tidak nyaman. Dan itu bagus.
Ali Fikry sebagai Bagas? Luar biasa. Lupakan image bocah-bocah sinetron religius. Di sini, ia jadi “manusia dajjal” yang dengan tenang memegang semua kunci kehancuran. Ia tidak teriak, tapi menakutkan. Sebuah peringatan bahwa monster paling berbahaya seringkali tampil dengan suara pelan.
Seksualitas yang Tidak Minta Maaf
Ada semacam kedewasaan baru dalam gaya penceritaan Hanung kali ini. Film “Gowok” ini bukan hanya soal estetika sensual, tapi juga kritik terhadap sistem nilai. Seks bukan dibawakan dengan rasa bersalah, melainkan dengan pengakuan penuh: bahwa tubuh adalah medan politik. Dan bahwa perempuan yang merdeka secara seksual akan selalu dituduh sebagai penyihir—atau lebih parah lagi, komunis.
Film ini juga tidak lupa menggali akar budaya lokal. “Gowok” bukan hanya konsep sosial, tapi mitos yang terus disulut ulang demi menertibkan hasrat perempuan. Hanung menjadikannya medium kritik, mengisahkan bagaimana budaya bisa memelihara ketimpangan sambil membungkusnya dalam legitimasi adat.
Kesimpulan: Menonton Rasa Dihantui
“Gowok” bukan film yang sempurna. Tapi ia tahu ke mana harus menghantam. Ia tidak menjilat moral mayoritas, dan justru dengan itu menjadi salah satu karya paling relevan dan menyeramkan dari Hanung. Bukan karena setannya, tapi karena betapa benar apa yang ia katakan tentang tubuh, kuasa, dan keinginan perempuan.
Kalau film ini masih diputar di bioskop, tontonlah segera. Lalu bertanyalah, seberapa sering kita menghukum perempuan hanya karena mereka ingin hidup?