Review Film “Tron: Ares” – Lebih Sibuk Nyetrum Mata Daripada Menyentuh Hati

Film “Tron: Ares” adalah jenis film yang membuat kita sadar kalau Hollywood kadang lebih peduli pada estetika cahaya daripada isi cerita. Sungguh. Kalau ada penghargaan “Film Paling Glowing 2025”, ini pemenangnya tanpa debat.

Film ini very immersive, terutama kalau kalian nontonnya di layar sebesar IMAX atau di studio dengan laya besar sambil duduk sedikit di baris depan. Rasanya seperti disedot masuk ke dunia neon merah yang begitu intens sampai mata kita minta tolong. Tapi jujur saja, kalau hanya mau menikmatir visual dan musik, film “Tron: Ares” layak sekali. Kalau berharap cerita yang menggugah? Ya… selamat datang di kekecewaan yang berpendar indah.

Jared Leto sebagai Ares (Sumber: IGN)

Seperti pendahulunya, film ini masih bermain di dunia digital “The Grid”, dunia virtual yang jadi arena konflik manusia dan program buatan. Buat penggemar film “Tron” tahun 1982, ada fan service yang cukup menggoda. Beberapa elemen visual klasik dibangkitkan kembali, bahkan ada kemunculan salah satu antagonis legendaris dari film pertama. Dan di sini, nostalgia benar-benar jadi bahan bakar utama.

Sayangnya, bahan bakar itu cepat habis. Begitu mulai cari arah ceritanya, film “Tron: Ares” mendadak kehilangan GPS. Alur ceritanya nyaris tidak bergerak. Penonton baru mungkin akan kebingungan meskipun film berusaha memberi sedikit flashback di awal, lewat potongan berita yang terasa lebih seperti recap YouTube daripada narasi sinematik.

Salah satu adegan light cycle yang memanjakan mata di film “Tron: Ares” (Sumber: Collider)

Namun, mari kasih kredit di tempat yang pantas. Musik dari Nine Inch Nails benar-benar menghidupkan suasana. Kombinasi electric pop dan industrial rock mereka membuat film ini terasa hidup, dan bahkan lebih hidup dari beberapa karakternya. Di beberapa momen, musiknya berhasil menutupi dialog yang terasa kaku. Dan ya, itu pujian sekaligus sindiran.

Masalah utama film “Tron: Ares” justru ada di chemistry para pemainnya. Jared Leto tampil sebagai Ares dengan karisma khasnya yang… ya, Jared Leto sekali: misterius, agak nyeleneh, dan terlalu sadar kamera. Sayangnya, hubungannya dengan karakter Eve Kim yang diperankan Greta Lee terasa dingin. Mereka berdua seperti dua tabung neon yang nyala sendiri-sendiri, tidak benar-benar menyatu.

Greta Lee sebagai Eve Kim, CEO Encom yang baru (Sumber: istimewa)

Untungnya ada Evan Peters, yang jadi penyelamat film ini. Sebagai antagonhis utama, dia tampil bengis, licik, dan benar-benar mencuri perhatian. Setiap kali muncul, film ini terasa punya denyut lagi. Ironisnya, karakter jahat justru membuat film ini lebih hidup dibanding karakter utamanya.

Secara visual, film “Tron: Ares” memang tidak bisa disalahkan. Produksi desain, warna, dan efek visualnya digarap dengan sangat niat. Dunia digitalnya terlihat megah dan detail, bahkan kadang terlalu detail sampai bikin pusing. Kalau nontonnya di layar besar, siap-siap seperti masuk rave party futuristik tanpa pintu keluar. Tapi, semua keindahan itu tidak banyak membantu saat naskahnya terasa seperti file mentah yang belum di-render dengan sempurna.

Evan Peters sebagai Julian Dillinger, villain utama yang sukses bikin sebal (Sumber: istimewa)

Film ini seperti seseorang yang tampil dengan outfit spektakuler, tapi lupa bawa kepribadian. Menawan dari luar, tapi kosong di dalam.

Apakah film “Tron: Ares” buruk? Tidak sepenuhnya. Film ini tetap menghibur, apalagi kalau kalian tipe penonton yang suka visual artistik dan sound design yang menghentak. Tapi kalau kalian datang untuk cerita yang kuat dan karakter yang berlapis, siap-siap keluar bioskop sambil berpikir: “Tadi nonton film atau video klip 2 jam?”

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, film “Tron: Ares” jelas bukan film untuk semua orang. Film ini lebih cocok untuk mereka yang datang ke bioskop bukan untuk memahami plot, tapi untuk menikmati sensasi visual dan musik yang bikin adrenalinnya naik turun.

Jeff Bridges kembali memerankan Kevin Flynn pencipta The Grid (Sumber: istimewa)

Jadi, kalau mau nonton, sarannya: jangan terlalu berpikir keras. Duduk manis, biarkan mata kalian diserang lampu neon, dan nikmati cinematic rave party ini sampai selesai. Dan jangan buru-buru beranjak dari kursi, karena ada adegan tambahan di bagian tengah kredit film. Potensi sequel kah? Jika film ini sukses besar, kemungkinan iya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *