Film Indonesia (sepertinya) akhir-akhir ini sedang gencar berbenah. Tapi tetap saja, ketika mendengar kabar bahwa Falcon Pictures mau remake film Spanyol berjudul El Cuerpo (The Body) , ekpektasi langsung jatuh ke titik terendah. Bukan karena film aslinya buruk, justru sebaliknya, The Body adalah thriller psikologis yang kompleks dan intens. Justru karena itu, rasanya terlalu mudah untuk membayangkan hasil akhirnya akan seperti apa kebanyakan film remake kita: jadi bungkus kosong tanpa ruh, cuma jualan nama besar, dan promosi jor-joran.
Ternyata salah besar. Dendam Malam Kelam (di sutradarai oleh Danial Rifki, dan skenario di tulis oleh Oriol Paulo), bukan cuma berhasil menghindari jebakan itu, tapi juga berhasil menyajikan ulang cerita dengan nafas dan atmosfer yang berbeda. Bukan meniru mentah, tapi menerjemahkan secara emosional dan budaya. Ini bukan film yang hanya ganti nama tokoh dan lokasi, tapi sebuah adaptasi penuh kesadaran akan audiensnya.

Dari segi cerita, tidak banyak yang berubah. Tetap seorang pria kaya-Jefri-yang istrinya, Sofia, ditemukan meninggal dunia, tapi jenazahnya raib dari ruang jenazah. Dari sini, dimulai sebuah sebuah penyelidikan yang pelan-pelan membuka luka-luka lama, manipulasi batin, dan twist yang bukan hanya mencengangkan tapi juga membuat penonton mempertanyakan apa itu rasa bersalah.
Tapi yang membuat film ini benar-benar hidup adalah dua hal: eksekusi yang matang dan penampilan para pemainnya yang mencengangkan. Mari kita mulai dari Arya Saloka, Aktor ini sebelumnya dikenal lewat peran-peran sinetron, yang meski populer, seringkali bikin skeptis ketika masuk ke dunia film layar lebar. Tapi disini, dia berhasil melakukan sesuatu yang jarang bisa dilakukan aktor Indonesia: menahan diri. Tidak over acting, tidak sok edgy. Ia bermain dengan gestur kecil, mata yang selalu tampak gelisah, dan energi yang terus meletup meski tak benar-benar meledak. Sebagai Jefry, ia tampil sebagai sosok abu-abu yang sulit ditebak-kadang kasihan, kadang menjijikan. Arya Saloka membuktikan bahwa ia lebih dari sekedar aktor prime time; dia bisa, dan layak, berada di lingkaran perfilman serius.
Lalu ada Marissa Anita-nama yang seharusnya lebih sering muncul dipanggung utama film-film besar. Sebagai Sofia, perempuan kaya yang penuh luka batin dan rasa sepi, Marissa Anita tampil seperti hantu yang masih hidup. Ia tak butuh banyak dialog untuk menciptakan teror; cukup dengan tatapan kosong , cara duduknya yang tidak nyaman, atau bisikan tipisnya yang seperti menyimpan ledakan. Ada momen-momen dimana kehadirannya seperti menghantui ruang-tidak karena efek suara atau make up tebal yang seram, tapi karena ekspresi emosional yang subtil tapi menghantam. Dalam satu adegan flashback, tatapan kosongnya setelah menyadari pengkhianatan Jefri adalah momen paling sunyi sekaligus paling mengerikan di film ini.
Bront Palarae, sebagai detektif juga patut diapresiasi-seperti biasa, karismanya tidak pernah gagal. Tapi perannya lebih sebagai jembatan yang menjaga alur tetap mengalir. Ia seperti benang merah yang membawa penonton dari satu lapisan misteri ke lapisan berikutnya.
Secara teknis, Dendam Malam Kelam terasa sangat rapi. Tata kamera, desain suara, dan editing-nya cukup presisi untuk ukuran film Indonesia. Tidak berusaha tampil “keren” atau “stylistic” secara berlebihan-tapi justru karena itu, atmosfer ketegangan terasa konstan dan merayap. Yang patut diacungi jempol adalah keberanian untuk tidak menyelipkan subplot drama keluarga , percintaan remaja, atau adegan pelengkap klise. Cerita tetap fokus , padat dan menggigit dari awal sampai akhir.
Meski ini merupakan film remake, film ini tidak pernah terasa sebagai produk tiruan. Ia punya jati diri. Ada rasa Indonesia-nya tapi tidak memaksa . Pemilihan lokasi, cara bicara karakter, bahkan nuansa sosialnya terasa cukup pas untuk konteks lokal. Ini bukan soal “mengindonesiakan” cerita luar, tapi soal mengadaptasi rasa takut dan rasa bersalah menjadi sesuatu yang dekat dan relevan untuk penonton kita.
Dendam Malam Kelam adalah contoh bahwa remake bisa berhasil-bahkan bisa menjadi karya yang berdiri dengan kaki sendiri. Bukan sekedar reinkarnasi cerita lama tapi kelahiran cerita baru yang relevan, matang dan menyisakan jejak dalam pikiran. Bravo!