Siapa bilang dongeng klasik harus tetap suci dan penuh glitter? Film “The Ugly Stepsister” datang dari negeri-negeri Utara dengan misi: membongkar mitos Cinderella dan menyulapnya jadi mimpi buruk yang dibalut dalam balutan sinema yang suram, tajam, dan penuh kritik sosial. Film ini adalah debut dari sutradara Norwegia, Emilie Blichfeldt, hasil kolaborasi produksi empat negara yaitu Norwegia, Polandia, Swedia, dan Denmark. Jika biasanya film film adaptasi Cinderella membuat kita mendambakan sepatu kaca dan gaun shimmer, film ini justru membuat kita ingin membuang cermin dan menyelimuti diri dengan sweater tebal sambil bertanya: “Kenapa kita begitu terobses jadi cantik?”

Cerita yang Tidak manis-Manis Amat
Kisah dimulai dengan Rebekka, seorang wanita yang tampaknya lebih pintar cari suami daripada cari kerja, menikahi pria tua demi masa depan yang cerah. Dia membawa dua anaknya, Elvira dan Alma. Ke rumah baru yang juga dihuni anak kandung dari pria tua itu bernama Agnes. Yes. Kita tahu kemana arah dongeng ini. Tapi tunggu dulu – plot twist muncul secepat kematian sang pria tua yang ternyata bukan bangsawan kaya, melainkan hanya ilusi kapitalisme level bawah.
Rebekka panik, Alma sedikit lempeng dan Elvira? Dia terobsesi dengan ide menikahi pangeran untuk keluar dari kemiskinan Dan disinilah kisah ini berbelok ke jalur body horror yang tidak akan kita temukan di katalog konten Disney. Elvira rela menjalani operasi plastik zaman medieval – bayangkan skalpel tanpa anastesi – dan bahkan menelan telur cacing pita demi tubuh ideal. Semua demi satu tujuan: semua gaun pesta bisa muat dan merebut hati sang pangeran. Tapi, hidup memang tak seindah cerita dongeng, munculnya sosok misterius yang mencuri perhatian sang pangeran yang ternyata adalah Agnes – alias Cinderella versi film ini. Maka dimulailah obsesi, kecemburuan, dan kekerasan pada diri sendiri terutama ketika sepatu milik Agnes tidak muat lalu Elvira melakukan ‘apapun’ demi kakinya muat di sepatu itu. Ini bisa bikin body dysmorphia terasa seperti tren TikTok yang salah sasaran.

Body Horror yang Cerdas, Bukan Hanya Jualan Luka
Sutradara Emilie Blichfeldt tahu benar bagaimana cara mengaduk perut penonton tanpa harus muncrat darah satu ember. Dia bermain di ranah psikologis dan estetika tubuh dengan penuh presisi, seolah memang benar adanya istilah ‘beauty is pain’. Adegan operasi plastik yang dilakoni Elvira menjadi highlight horor tersendiri – tidak eksplisit, tapi cukup untuk membuat kita mengepalkan tangan sambil memeluk pipi sendiri. Alih-alih menggunakan jumpscare atau makhluk jadi-jadian, film “The Ugly Stepsister” menyiksa penonton dengan realitas yang terlalu dekat: standar kecantikan yang kejam dan sosialita yang hanya menghargai penampilan.
Dan jujur saja, menonton film ini membuat skincare routine terasa seperti ritual suci yang bisa menyelamatkan hidup. Tapi, dibalik tawa getir itu, film “The Ugly Stepsister” berhasil menyampaikan pesan besar: tubuh kita bukan proyek publik.

Cinderella yang Patut Dibenci
Twist terbesar film ini bukan pada siapa yang akan menikah dengan pangeran, tapi pada siapa yang pantas mendapat simpati. Agnes alias Cinderella bukanlah gadis yang baik hati dengan burung berkicau di bahunya, dia adalah representasi dari gadis yang berkhianat atas cinta demi status sosial. Sebaliknya, Elvira-yang biasanya kita kenal sebagai si saudari tirikejam-menjadi korban sistem , seorang gadis muda yang dihancurkanoleh mimpi tentang kecantikan sempurna dan kebahagiaan instan lewat status sosial.
Empati kita beralih, dari Cinderella ke saudari iri. Dari kecantikan ke trauma. Dari sepatu kaca ke luka terbuka. Itulah kekuatan naskah film “The Ugly Stepsister” – berani mengubah narasi tanpa kehilangan koneksi emosional dengan penonton.

Visual Suram yang Menohok
Lupakan langit biru dan kastil berkilau. Film “The Ugly Stepsister” bermain dengan palet warna gelap yang menekan, menciptakan atmosfer gothic dicampur vintage yang menggigit. Rumah era victorian yang tidak ramah, cahaya lilin yang terlalu temaram, dan pesta dansa yang lebih menyerupai parade elitisme sosial daripada romansa fairytale. Hanya kostum pesta yang memberikan percikan warna – seolah mengingatkan kita bahwa glamor hanya kulit luar dari sesuatu yang busuk di dalam.
Desain produksinya tidak berusaha untuk ‘mempercantik’ masa lalu, justru memperlihatkan sisi kotor dan menyedihkan dari impian bangsawan. Sutradara Emilie Blichfeldt secara jeli menyandingkan keindahan busana dengan kebusukan niat dan obsesi, menciptakan ironi visual dan tajam.

Kesimpulan: Dongeng yang Membuat Kita Merasa Buruk…Tapi dengan Cara yang Baik
Film “The Ugly Stepsister” adalah film bergenre body horror yang tahu betul bahwa ketakutan terbesar manusia bukan monster, tapi diri mereka sendiri – lebih spesifik lagi, tubuh mereka. Ini adalah film menantang dongeng, merobek mitos kecantikan, dan memukul balik obsesi sosial terhadap penampilan. Dengan naskah kuat, visual memikat, dan performa akting yang penuh luka – baik secara fisik maupun emosional – film ini bukan sekedar adaptasi, tapi dekonstruksi brutal terhadap kisah yang sering disterilkan.
Apakah film ini cocok untuk semua orang? Tentu tidak. Tapi bagi mereka yang cukup berani untuk menatap cermin dan bertanya siapa yang paling menyedihkan di dunia ini – film ini adalah candu yang pahit namun memuaskan.

Tentu wajib sekali nonton film “The Ugly Stepsister” . Tapi jangan lupa, bawa perut koson dan juga keberanian penuh. Sedang tayang di bioskop Indonesia. Sayang sekali kalau dilewatkan.