Review Film “Fear Street: Prom Queen” – Ketika Ratu Prom Kehilangan Tahta Horornya

Setelah sukses besar dengan trilogi film “Fear Street” yang membelah waktu daritahun 1994 ke 1666 dengan gaya slasher yang solid dan universe yang terkoneksi dengan baik, Netflix kembali memanggil kita ke Shadyside lewat film “Fear Street: Prom Queen”. Diangkat dari novel karya R.L. Stine yang cukup legendaris – dan salah satu yang paling difavoritkan setelah “Goosebumps” – tentu ekspektasi tinggi bukanlah hal yang berlebihan. Tapi sayangnya, ekspektasi itu lebih cepat dibunuh daripada salah satu korban di film ini.

Berlatarkan tahun 1988, film “Fear Street: Prom Queen” seolah ingin menjadi pesta nostalgia, menyuguhkan era ketika rambut ditata setinggi impian, kaset disetel keras-keras, dan darah jadi bagian dari hiburan akhir pekan. Tapi alih-alih membangkitkan atmosfer yang mencekam dan menggigit, film ini justru jatuh dalam jebakan klise yang membosankan. Film ini tampak cantik di luar, tapi rapuh dan kosong di dalam. Seperti ratu prom yang hanya menang karena popularitas, bukan kualitas.

Salah satu adegan di film “Fear Street: Prom Queen” (Sumber: Netflix)

Premis Menjanjikan, Ekseskusi Tumpul

Cerita di film “Fear Street: Prom Queen” sebenarnya cukup menjual, dimana seorang pembunuh mengincar satu persatu kandidat Prom Queen di tengah hiruk pikuk pesta senior SMA. Dalam dunia “Fear Street”, premis seperti ini seharusnya bisa diolah menjadi sajian berdarah yang menghibur dan penuh kejutan. Tapi kenyataannya, naskah ya begitu malas dan lempeng, seperti menonton film “Mean Girls” versi capek, lalu dipoles sedikit darah biar dianggap edgy.

Alih-alih membangun atmosfer tegang atau menggali misteri siapa pelaku sebenarnya, film ini hanya menumpuk adegan demi adegan tanpa arah yang jelas. Bahkan twist-nya terasa seperti diselipkan di menit-menit akhir hanya demi formalitas, bukan hasil dari penulisan cerita yang cerdas. Alurnya mengalir seperti air kran yang bocor – tidak jelas dari mana arahnya, tapi bikin jengkel karena tahu seharusnya bisa lebih baik.

Battle dance kandidat Prom Queen di film “Fear Street: Prom Queen” (Sumber: istimewa)

Karakter Kuat yang Terperangkap Naskah Lemah

India Fowler sebagai Lori Granger tampil sangat solid. Wajah klasiknya mengingatkan pada final girl horor tahun 1980-an yang tenang tapi menyimpan luka. Lori seharusnya bisa menjadi karakter ikonik baru di semesta “Fear Street” jika naskahnya tidak menyeretnya dalam narasi serba tanggung.

Katherine Waterston juga menyumbang performa mencolok sebagai sosok yang tampaknya baik tapi menyimpan niat jahat. Karakternya adalah contoh bagaimana akting bisa menyelamatkan tokoh dari naskah yang tidak memberi ruang. Sayangnya, aktjng bagus saja tidak cukup kalau jalan ceritanya tidak punya arah.

Karakter lain nyaris tidak bisa dibedakan satu sama lain. Semuanya terasa generik seperti mean girls yang jadi role model di SMA, pacar gadis populer tapi hanya pura-pura sayang, pasangan pengagum gadis populer yang lugu, dan tentu saja sahabat tokoh utama yang selalu ada buat dia. Tidak ada yang benar-benar diberi kesempatan untuk bersinar atau membuat penonton peduli saat beberapa dari mereka menjadi korban pembunuhan.

India Fowler sebagai Lori Granger yang performa aktingnya sangat bagus. (Sumber: The Today Show)

Slasher Kilat Tanpa Gigitan

Bagaimana dengan adegan slasher-nya? Yah…ada tapi mudah dilupakan. Semuanya terasa seperti versi ringan dari sesuatu yang pernah kita lihat di film lainnya. Tidak ada build-up tensi, tidak ada kejutannya, dan bahkan kita mungkin akan ngilu sedikit namun hanya bisa bilang ‘gitu aja?’. Jika film “Fear Street: Prom Queen” adalah makanan, ini definisi seperti mi instan yang dimasak tanpa bumbu.

Setiap adegan slasher yang muncul ya sudah muncul saja dan lenyap begitu saja. Tidak ada yang memorable, tidak ada koreografi adegan slasher yang mengesankan. Bahkan mungkin penonton awam pun bisa menebak siapa korban berikutnya – dan mungkin malah merasa besan menunggu kapan adegannya muncul.

Satu-satunya ketegangan nyata justru berasal dari rasa frustasi: sampai kapan kita harus menonton semua ini sambil berharap ada yang akhirnya terasa menegangkan?

Adegan salah satu kandidat Prom Queen sedang diicar pembunuh. (Sumber: The Today Show)

Universe? Apa Itu?

Mid-credit scene yang muncul tampaknya diaksudkan sebagai jembatan ke trilogi film “Fear Street” sebelumnya. Tapi jujur saja, itu seperti footnote yang dilempar ke penonton hanya untuk film ini tidak dianggap total lepas dari semesta filmnya. Tidak ada koneksi yang berarti, tidak ada penguatan tema besar yang pernah ditawarkan di film trilogi sebelumnya – hanya sekelumit referensi yang terlalu tipis untuk disebut relevan.

Bagi fans yang ingin menonton lalu berharap memperluas dunia Shadyside, film “Fear Street: Prom Queen” adalah kekecewaan yang mengejutkan. Film sebelumnya sukses membangun mitologi yang saling terhubung dengan lapisan cerita dan motif gelap. Tapi film ini tampil seperti spin-off tidak resmi – sebuah karya yang memakai nama besar tapi tidak paham betapa pentingnya menjaga fondasi ceritanya.

Run…prom queen…RUN!!! (Sumber: Netflix)

Kesimpulan: Ratu Prom Horor Tanpa Tahta Horor

Film “Fear Street: Prom Queen” adalah contoh klasik dari film yang punya bahan bagus tapi dimasak dengan cara malas. Dia cantik secara visual, tapi isinya sangat kosong. Para pemerannya layak mendapat cerita yang lebih baik, dan penonton layak mendapatkan ketegangan yang sesungguhnya.

Jika film ini ingin disebut bagian dari film “Fear Street”, maka film ini harus mulai dengan memahami apa yang membuat trilogi sebelumnya begitu kuat: cerita yang terkoneksi, atmosfer menekan, dan slasher yang benar-benar menggigit. Tanpa itu semua, film “Fear Street: Prom Queen” hanyalah pesta dansa yang terlalu cepat dilupakan – gaunnya bagus, tapi lagunya basi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *