Review Film “How To Train Your Dragon” (2025) – Masih Seru Dinikmati, Walaupun Keseluruhan Hanya Copy-Paste Dari Film Animasinya

Akhirnya, setelah penantian panjang dan penuh ekspektasi tinggi, film Live-Action “How To Train Your Dragon” resmi mendarat di bioskop Indonesia – dan seperti tradisi tak tertulis yang membuat netizen luar negeri iri hati, kita menikmatinya tiga hari lebih awal. Sebuah keistimewaan yang cukup membanggakan … sampai kita sadar bahwa film ini pada dasarnya hanya versi hidup dari film animasinya. Betul, selamat datang di era sinema “Copy-paste Deluxe Edition.”

Disutradarai (lagi) oleh Dean DeBlois – yang tampaknya sedang mengalami krisis kepercayaan kreatif – film ini seperti berkata, “Kenapa repot-repot berinovasi kalau bisa main aman?” Ceritanya? Masih sama. Adegan-adegannya? Nyaris identik. Bahkan nafas Toothless pun terasa familiar. Jadi, mari kita bedah, apakah film ini layak disambut dengan tepuk tangan, atau cukup senyum kecut nostalgia.

Scene dimana Hiccup bertemu Toothless sang naga Night Fury (Sumber: Screen Rant)

Nostalgia Mode: ON, Inovasi Mode: Mati Total

Langkah Dean DeBlois untuk tidak mengubah apa-apa dari versi animasi film “How To Train Your Dragon”, bisa dibilang berani…atau malas, tergantung dari mana kalian melihatnya. Positifnya, versi live-action nya ini menjelma jadi mesin waktu bagi penonton yang tumbuh bersama trilogi film animasinya. Siapa yang tidak gemetar kecil saat melihat Toothless versi CGI realistis? Tapi ketika rasa takjub itu pudar, kita tersadar: ini sama persis. Setiap adegan, dialog, bahkan irama emosionalnya ditransfer utuh.

Sebagai hiburan ringan, oke. Sebagai adaptasi live-action, ini contoh buku teks dari safe play. Kalau Disney sering dikritik karena menambal dan merusak roh orisinal dari film animasinya, maka DreamWorks memilih untuk tidak menyentuh sedikit pun. Masalahnya, di tengah gempuran konten yang terus mendorong batas kreativitas, film “How To Train Your Dragon” versi live-action terasa…steril.

Hiccup yang melakukan ujian terakhirnya sebagai pembunuh naga (Sumber: Screen Rant)

Pemeran Manusia yang Cukup Bernyawa

Kalau ada satu hal yang tidak “copy-paste” dalam film “How To Train Your Dragon” , itu adalah para aktor manusianya. Mason Thames sebagai Hiccup adalah pilihan yang tepat. Dia berhasil menampilkan kebingungan, keberanian setengah matang, dan kepolosan khas Hiccup dengan natural tanpa trying so hard. Dia nerd, dia awkward, dia lovable. Tidak berlebihan kalau kita bilang: Mason Thames adalah Hiccup.

Nico Parker sebagai Astrid juga membawa semangat tempur yang membuat karakternya lebih berdimensi. Dia bukan sekedar love interest, tapi benar-benar partner yang seimbang. Sementara Gerard Butler – surprise! – kembali sebagai Stoick ayah Hiccup sekaligus kepala suku Berk. Kali ini secara fisik, bukan hanya suara. Dan inilah momen langka ketika seorang aktor menghidupkan kembali peran lamanya secara harfiah. Penampilannya garang, meyakinkan, dan penuh semangat Viking. Dunia live-action ini akhirnya punya Stoick yang terasa seperti legenda Nordik sungguhan.

Gerard Butler sebagai Stoick (Sumber: CBR)

Visual, CGI, dan Sensasi Terbang yang Patut Diacungi Empat Cakar

Jika ada alasan kuat untuk menonton film “How To Train Your Dragon” versi live-action di bioskop – dan bukan di streaming sambil rebahan – maka jawabannya adalah sinematografi dan visualnya. Berk, pulau terpencil tempat bangsa Viking dan naga saling benci, divisualisasikan dengan pemandangan epik ala katalog pariwisata Nordik. Walaupun ketika di sarang naganya dibuat tone-nya lebih dark namun tetap bagus.

Adegan terbang bersama Toothless alias jenis naga Night Fury adalah highlight yang berhasil memukau bahkan penonton yang sudah tahu seperti apa bentuk akhir ceritanya. Inilah keuntungan dari teknologi: CGI-nya matang, rendering-nya memikat dan adegan aerial-nya membuat ingin langsung buka Google dan cari “promo tiket paralayang”. Namun, lagi-lagi, rasa deja vu menyerang. Indah? Ya. Baru? Tidak juga.

Mason Thames (Hiccup) dan Nico Parker (Astrid) di adegan terbang bersama Toothless (Sumber: Screen Rant)

Kesimpulan: Indah, Emosional, Tapi Sudah Pernah Kita Lalui

Film live-action “How To Train Your Dragon” adalah pengalaman sinematik yang menyenangkan…kalau buat yang belum pernah menonton versi animasinya. Atau jika kalian memang sekedar ingin bernostalgia dan tidak keberatan dengan minimnya kejutan.

Film ini pada dasarnya adalan remaster Ultra-HD 4K IMAX theatrical dari cerita yang sudah kita hafal di luar kepala. Seindah apapun kemasannya, tetap saja isinya familiar. Apakah itu salah? Tidak. Tapi apakah kita pantas mendapatkan lebih? Ya, seribu kali.

Dean DeBlois memilih aman – dan aman jarang sekali menjadi luar biasa. Sudah dikonfirmasikan kalau film live-action “How To Train Your Dragon 2” akan dibuat dan sepertinya “copy-paste” lagi dari versi animasinya. Come one, cobalah dikembangkan lagi ceritanya supaya lebih menarik tapi tidak merusak inti ceritanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *