Setelah film “Pamali” (2022) mencuri perhatian dengan premis menarik yang berpijak pada larangan-larangan kultural Indonesia, harapan terhadap sekuelnya, “Pamali: Tumbal”, tentu tidak kecil. Sayangnya, alih-alih memperluas eksplorasi mitos dan menghadirkan teror yang lebih dalam, film ini justru melemahkan potensinya sendiri dengan memilih jalan yang paling aman: mengandalkan formula horor generik yang sudah usang.

Sejak awal, “Pamali: Tumbal” berjalan di atas jalur yang terlalu mudah ditebak. Penonton yang terbiasa menyaksikan sinema horor lokal akan langsung mengetahui arah cerita sejak babak pertama: siapa yang jahat, siapa yang menjadi korban, dan bagaimana semuanya akan berakhir. Tidak ada upaya untuk menyembunyikan misteri secara cerdas atau membangun suspense yang menyiksa. Yang tersisa hanyalah eksposisi datar dan progresi konflik yang berjalan terlalu linier. Tidak ada celah untuk kejutan, apalagi refleksi.
Di tengah ketimpangan tersebut, ritme film menjadi persoalan tersendiri. Babak awal dipenuhi rangkaian peristiwa yang tampaknya ingin membangun suasana, namun gagal menciptakan atmosfer yang menegangkan. Transisi emosional antar adegan terasa canggung, dan pembangunan ketegangan seperti berlari dalam kabut, terlihat bergerak, namun tidak sampai ke mana-mana. Ketika konflik utama akhirnya terungkap, semuanya terasa terlalu terburu-buru, seperti terbebani target durasi.
Sebagai film horor, “Pamali: Tumbal” tampaknya masih berpegang pada pola lama: membuat penonton terlonjak dengan suara keras, menghadirkan sosok hantu sebagai penggerak balas dendam, lalu mengakhiri semuanya dengan kematian yang dianggap sebagai penebusan atau kutukan. Semua elemen ini bukanlah masalah jika disajikan dengan konteks dan kreativitas. Namun dalam film ini, semuanya terasa seperti daftar periksa yang harus dicentang—bukan bagian dari narasi yang utuh.
Dari segi teknis, film ini juga tidak menawarkan sesuatu yang menonjol. Tata suara lebih banyak digunakan sebagai alat kejut, bukan sebagai pencipta suasana. Tata kamera dan sinematografi berada di titik aman, tidak berani mengeksplorasi visual yang bisa memperkuat mood cerita. Desain produksi pun terasa standar, tanpa identitas artistik yang membedakan film ini dari puluhan film horor lain yang beredar tiap tahun.
Yang membuat film ini semakin kehilangan pijakan adalah ketidak konsistenannya dalam menghadirkan ruang dan budaya. Tokoh utama menggunakan bahasa Jawa, sementara karakter pendukung berbicara dengan aksen Betawi yang kental. Perbedaan ini tidak pernah dijelaskan secara kontekstual, hingga memunculkan kebingungan: di mana sesungguhnya cerita ini berlangsung? Ini bukan soal perbedaan bahasa, tapi soal kurangnya kepedulian terhadap detil budaya yang seharusnya menjadi kekuatan film.
Ironisnya, satu-satunya hal yang justru menjadi nilai tambah dalam film ini adalah aspek performa. Keisya Levronka menunjukkan kematangan akting yang meningkat dibanding film sebelumnya. Ia tampak lebih nyaman di depan kamera dan berhasil membawakan emosinya dengan cukup meyakinkan. Sementara itu, Ummi Quary tampil sangat kuat dan menjadi pusat gravitasi dalam setiap adegannya. Sayangnya, naskah yang lemah tidak memberi ruang cukup bagi akting mereka untuk berkembang optimal.
Sebagai bagian dari sebuah waralaba yang mengusung kata “pamali”—sebuah istilah sarat nilai, larangan, dan kearifan lokal—film ini justru gagal memberi penghormatan pada konteks budaya yang diwakilinya. “Pamali” hanya menjadi label, bukan roh dari cerita. Film tidak mencoba menggali mitos, tidak mengajukan pertanyaan moral, bahkan tidak menciptakan diskusi tentang kepercayaan turun-temurun. Ia hanya menggunakan tema tersebut sebagai jubah, tanpa benar-benar menghidupkannya.
Bandingkan dengan film-film seperti “Perempuan Tanah Jahanam” yang berani menyentuh ranah mitos dengan simbolisme mendalam, atau “Impetigore” yang menyatu dengan desa, ritual, dan trauma sosial. “Pamali: Tumbal” tampak seperti versi instan—siap saji dan mudah dikonsumsi, namun kosong nilai.
Sebagai tontonan hiburan, mungkin film ini masih memiliki pasar. Tapi sebagai karya sinema yang seharusnya mencerminkan kompleksitas budaya, psikologis, dan ketakutan manusia yang paling dasar, “Pamali: Tumbal” terlalu jauh dari kata berhasil. Ia bukan hanya gagal sebagai horor, tapi juga gagal memahami esensi “tumbal” itu sendiri.
Akhirnya, film ini justru menjadi tumbal dari kemalasannya sendiri—sebuah contoh bagaimana potensi besar bisa dikecilkan oleh keputusan kreatif yang stagnan.

