Seong Gi-hun tak pernah benar-benar bisa keluar. Ia sempat berdiri di bandara, tiket ke Los Angeles tergenggam erat di tangan, namun langkahnya terhenti. Ada yang belum selesai. Dan kini, pada musim ketiga sekaligus terakhir dari Squid Game, ia kembali masuk ke tempat yang membuat hidupnya hancur—bukan sekadar untuk bertahan hidup, tapi untuk membakar seluruh sistem dari dalam.
Teaser berdurasi 90 detik yang dirilis Netflix tanggal 6 Mei 2025, hanyalah seujung kuku dari neraka yang siap menganga kembali. Tapi itu cukup untuk membuat satu dunia mengerutkan dahi—dan mendadak menggigil saat suara bayi menangis menghantam akhir cuplikan. Tidak, ini bukan sekadar permainan lagi. Ini penebusan. Ini pemberontakan. Dan ini, kemungkinan besar, pengorbanan terakhir.

Langkah Terakhir Seorang Pemberontak
Lee Jung-jae kembali memerankan Seong Gi-hun, namun ini bukan pria rapuh yang kita kenal dulu. Kini dia lebih dingin, lebih fokus, dan lebih gelap. Musim kedua ditutup dengan nada getir—Gi-hun gagal menghentikan permainan, Jung-bae tewas, dan sistem tetap hidup. Tapi di musim ketiga, dia masuk kembali. Bukan untuk menang, tapi untuk mengakhiri segalanya. Dengan darah, amarah, dan kemungkinan kehilangan dirinya sendiri.
Kini para peserta dihadapkan pada sistem baru yang lebih brutal: mereka harus memilih bola dari mesin permen raksasa, yang secara acak membagi mereka ke dalam tim merah dan biru. Takdir diputuskan bukan oleh pilihan, tapi keberuntungan. Bahkan keluarga harus terpecah. Di satu momen yang sangat menghantui, seorang ibu dan anak—Geum-ja dan Yong-sik—terjebak di dua sisi berlawanan. Dan permainan belum dimulai.
Tangisan Bayi: Tanda Bahaya yang Terlalu Nyata
Kemudian muncul Jun-hee. Hamil besar. Terlalu besar untuk sekadar jadi gimmick. Diperankan oleh Jo Yu-ri, Jun-hee adalah simbol dari absurditas yang kejam dalam dunia Squid Game. Ia tahu dirinya sedang mengandung, tapi tetap diikutsertakan. Entah siapa yang lebih sakit—yang membuat aturan, atau yang menontonnya.
Dan di akhir teaser, tangisan bayi itu meledak seperti bom emosi. Tak ada ledakan, tak ada darah, tapi seluruh dunia sunyi. Itu bukan sekadar suara. Itu adalah luka kolektif. Komentar di media sosial pun penuh dengan kepanikan: “Save the baby.” “That cry… it broke me.” Banyak yang mengaku tidak bisa tidur setelah mendengar suara itu. Bahkan di dunia yang penuh pembunuhan, justru suara kehidupanlah yang paling menakutkan.
Front Man, Pengkhianatan, dan Mereka yang Kembali dari Kegelapan
Lee Byung-hun kembali sebagai Front Man. Tenang, dingin, berbahaya. Tapi kini dia bukan sekadar pengawas. Dia target. Dan Hwang Jun-ho, detektif yang dikira mati, ternyata hidup. Wi Ha-joon membawa kembali karakternya yang kini dibalut trauma dan dendam. Ia bukan lagi polisi yang mencari kakaknya. Ia adalah adik yang akan menembak kalau perlu.
Dan kemudian muncul teori tentang Player 246, diperankan oleh Lee Jin-wook. Ia seharusnya sudah mati. Tapi tubuhnya tak pernah ditemukan. Tidak ada darah, tidak ada konfirmasi. Hanya ketidakhadiran yang terlalu mencurigakan. Di dunia Squid Game, kematian bukanlah akhir. Kadang, itu hanya permulaan baru untuk teror berikutnya.
Penutup yang Tidak Akan Memberi Kelegaan
Squid Game Season 3 bukan serial biasa. Ini bukan penutup manis yang membuat kita tersenyum lega. Ini bukan cerita tentang pahlawan yang menang. Ini adalah naskah akhir dari sistem yang dibangun di atas keserakahan, kekerasan, dan penonton yang terlalu diam. Tidak ada jalan keluar yang benar-benar utuh. Bahkan Gi-hun pun tahu: masuk lagi berarti kehilangan segalanya.
Hwang Dong-hyuk, sang pencipta, menulis akhir ini bukan dengan tinta, tapi dengan luka. Ia tak memberi harapan palsu. Ia menunjukkan: jika sistem tidak berubah, maka yang berubah adalah manusia di dalamnya. Kita menjadi lebih keras, lebih gelap, lebih kejam—semua demi bertahan di permainan yang seharusnya tak pernah ada.
Jika Squid Game pernah membuat kita bertanya “bagaimana jika aku yang ada di sana?”, maka musim ketiga ini menjawab: kau takkan sanggup. Bukan karena tantangan fisik. Tapi karena suara bayi menangis di tengah arena. Dan karena satu-satunya cara keluar… adalah membuat semuanya berhenti.