Review “Nobody 2” : Film Hollywood Timo Tjahjanto dan Seni Mempertahankan Adrenalin

Hutch Mansell pernah menjadi sosok antihero kejutan. Film pertamanya bukan sekadar tontonan aksi, melainkan sebuah pernyataan: bahwa Bob Odenkirk-aktor yang selama ini identik dengan karakter verbal dan sarkastis-mampu menjadi mesin kekerasan yang efisien tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Sekuel “Nobody 2”, di bawah arahan Timo Tjahjanto (sutradara Indonesiayang sebelumnya sukses dengan film “Rumah Dara” , “Sebelum Iblis Menjenput”, “The Night Comes From Us” dan masih banyak lagi) yang menggantikan Ilya Naishuller, mencoba mengulang keajaiban itu. Namun, hasilnya adalah persilangan antara keberhasilan mempertahankan adrenalin dan kegagalan mencapai kedalaman emosional yang sama.

Nobody 2 (foto: istimewa)

Timo membawa signaturnya: kekerasan visceral, ritme yang agresif, dan humor yang kadang meletup di momen paling tak terduga. Klimaks di arena karnaval—penuh ledakan, tembakan, dan chaos terkendali—mungkin menjadi bukti paling kuat bagaimana ia mampu menciptakan set piece yang bukan hanya indah secara teknis, tapi juga memuaskan secara sensorik. Di sini, Odenkirk sepenuhnya menyerahkan tubuhnya pada peran; setiap pukulan, tendangan, dan hantaman terasa otentik. Connie Nielsen pun memanfaatkan peran yang lebih besar dengan percaya diri.

Sharon Stone, sebagai pendatang baru di semesta “Nobody”, hadir dengan gaya villain yang flamboyan. Sayangnya, performa ini memecah perhatian: terkadang begitu menggoda dengan energi iblis yang licik, namun disisi lain terlalu teatrikal dan mengganggu kohesi nada cerita.

Masalah terbesar film ini ada pada naskah. Ketika aksi fisik begitu kuat, hubungan antar karakter dan emosi yang seharusnya menopang cerita malah terasa dangkal. Dialognya kerap terdengar kaku, seperti sekadar jembatan menuju adegan berikutnya. Timo memang berhasil mempertahankan momentum laga, tetapi gagal mereplikasi “jiwa” yang membuat film pertama istimewa.

“Nobody 2” adalah perayaan “Dad’s still got it!”—aksi seorang ayah suburban yang masih mematikan di usia paruh baya, dibungkus nostalgia dan fantasi kekerasan.

Namun, di luar kelemahannya, “Nobody 2” tetap menunjukkan satu hal penting: bahwa Timo Tjahjanto bukan hanya sutradara aksi Indonesia yang menembus Hollywood, melainkan seorang pengrajin laga yang mengerti bagaimana membuat tubuh penonton ikut berdenyut di setiap hentakan pukulan. Mungkin ia belum menemukan formula sempurna untuk menyatukan kekerasan dan kedalaman narasi di ranah mainstream, tapi film ini adalah langkah penting yang membuktikan potensinya.

Verdict: Bagi penggemar aksi, Nobody 2 adalah tiket menuju 100 menit adrenalin murni. Bagi pencari cerita yang berlapis, mungkin ini hanya sekadar liburan singkat—menyenangkan, tapi mudah dilupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *