Review Film “The Long Walk” – Gerak Jalan Maut Versi Stephen King yang Menegangkan

Ada kalanya film horor bikin kita merinding karena hantu, darah, atau monster CGI. Tapi kali ini beda. Film “The Long Walk”, adaptasi dari novel klasik Stephen King, justru bikin ngeri dengan sesuatu yang lebih sederhana, sebuah kompetisi jalan kaki. Kedengarannya receh, tapi begitu aturan mainnya dijelaskan, nonton film ini rasanya seperti ikut jalan kaki ke liang kubur bareng peserta.

Bayangkan, sekelompok anak muda dipaksa jalan terus tanpa henti. Tidak ada garis finish. Tidak ada istirahat. Siapa yang melambat, berhenti, atau melanggar aturan tiga kali, langsung ditembak mati. Hanya satu yang boleh bertahan, dan dialah pemenang. Hadiahnya? Nyawa yang masih tersisa, ditambah janji hadiah misterius dari negara yang jelas-jelas menikmati tontonan ini.

Konsepnya simpel, tapi justru karena terlalu sederhana, terasa semakin sadis. Kalau film “The Hunger Games” memberi kita arena penuh aksi, panah, dan ledakan, film “The Long Walk” memberi kita kaki lecet, nafas ngos-ngosan, dan ketegangan yang terasa semakin nyata.

Gerak jalan yang bukan bikin sehat, tapi bikin takut (Sumber: NY Times)

Stephen King + Sutradara “The Hunger Games” = Racikan Pedas

Film ini disutradarai orang yang sama dengan film “The Hunger Games”. Jadi jangan heran kalau nuansa “survival game yang disiarkan demi hiburan” terasa familiar. Bedanya, kali ini tidak ada glamor, tidak ada kostum flamboyan ala Capitol. Yang ada hanyalah jalan panjang, wajah lelah, dan peluru yang siap menghentikan langkah kapan saja.

Justru di situlah letak kejamnya film ini. Semuanya realistis. Jalan kaki adalah aktivitas sehari-hari. Tapi ketika jalan kaki jadi taruhan nyawa, film ini sukses mengubah sesuatu yang sepele jadi horor psikologis.

Teror psikologis yang bikin miris (Sumber: istimewa)

Kekuatan Ada di Dialog, Bukan Aksi

Kalau kamu berharap film penuh aksi, ledakan, atau duel heroik, siap-siap kecewa. Film “The Long Walk” lebih mirip drama eksperimental dengan bumbu teror. Dialog jadi senjata utama di sini.

Penonton dipaksa mengenal satu per satu peserta jalan maut ini. Ada Ray, Pete, dan kawan-kawan yang awalnya sekadar kompetitor, tapi lama-lama terasa dekat. Inilah jebakan filmnya: kamu diajak peduli pada mereka, lalu dipaksa melihat mereka tumbang satu demi satu. Kejam? Benar sekali. Tapi efektif.

Ketakutan sebenarnya muncul saat tembakan pertama dilepaskan. Tiba-tiba, permainan berubah jadi ajang eksekusi. Setiap langkah berikutnya bikin kita ikut overthinking: siapa yang bakal jatuh selanjutnya?

Ketegangan yang menanti di setiap langkah (Sumber: istimewa)

Persahabatan di Tengah Neraka

Yang menarik, meskipun ini kompetisi mematikan, filmnya juga menampilkan sisi hangat persahabatan. Para peserta, yang seharusnya jadi musuh, malah saling support. Mereka menyemangati satu sama lain, bahkan bercanda untuk mengurangi stres.

Ada momen manis tapi bikin sesak, terutama hubungan Ray dan Pete. Mereka seperti menemukan keluarga di tengah mimpi buruk. Dan saat Ray ketemu ibunya di perjalanan, siap-siap tisu. Emosinya sangat terasa, adegan ini berhasil membuat penonton menangis sekaligus merasa hancur.

Persahabatan yang terjalin karena saling support (Sumber: istimewa)

Potensi Membosankan Kalau Tidak Suka Gaya Begini

Sekarang, mari jujur. Buat sebagian orang, film ini bisa terasa membosankan. Karena pada dasarnya, ya hanya orang jalan kaki dan ngobrol. Kalau kamu tipe penonton yang butuh ledakan setiap 10 menit, film “The Long Walk” mungkin membuat ngantuk.

Tapi mungkin untuk sebagian orang, film ini justru segar. Simpel, tapi efektif. Bukan soal “jalan kaki”-nya, tapi soal manusia, tentang rasa takut, putus asa, solidaritas, dan betapa murahnya nyawa ketika dijadikan tontonan. Rotten Tomatoes memberi rating fresh 96%. Artinya, bukan kritikus juga menilai film ini bagus.

Sang Mayor yang siap mengawasi gerak gerik peserta gerak jalan(Sumber: NY Times)

Kesimpulan: Salah Satu Adaptasi Karya Stephen King yang Terbaik

Film “The Long Walk” adalah horor psikologis yang sederhana tapi brutal. Ini bukan film untuk semua orang. Ada yang akan merasa masterpiece, ada juga yang akan bilang “ini hanya orang jalan kaki, apa serunya?”.

Tapi kalau kamu sabar, suka film dengan intensitas psikologis, dan siap dibuat overthinking tentang arti hidup, film ini worth it untuk ditonton. Stephen King lagi-lagi membuktikan kalau teror sejati bukan datang dari monster, tapi dari manusia itu sendiri. Jalan kaki belum pernah terasa sesadis ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *