Bayangkan menonton film horor yang bukan hanya gagal menakuti, tapi malah membuat kalian mempertanyakan kenapa hasil filmnya bukannya takut tapi malah bingung. Itulah yang terjadi di film “Rego Nyowo”, sebuah film yang digadang-gadang sebagai proyek horor besar Hitmaker Studios tahun ini, namun sayangnya justru jadi salah satu yang paling mengecewakan.
Disutradarai oleh Rizal Mantovani dan diadaptasi dari thread horor viral “Kosan Berdarah” oleh @KelanaraStudio, film ini seharusnya punya modal kuat. Tapi seperti banyak adaptasi thread X lainnya, yang justru kebablasan naratif, akting kaku, dan tata cerita yang terasa seperti tugas kelompok yang dikerjakan lima menit sebelum deadline. Potensi horor yang seharusnya bisa bikin bulu kuduk merinding malah berubah jadi tontonan penuh gimmick tanpa jiwa.

Rizal Mantovani Lumayan Gagal Memberikan Horor Sebenarnya
Rizal Mantovani mungkin pernah jadi nama besar dalam jagat film horor Indonesia sejak kesuksesan film “Jelangkung” yang berhasil membuat satu Indonesia ketakutan. Tapi dalam film “Rego Nyowo”, seolah semua yang dulu dia kuasai hilang entah kemana. Visi horornya kini terasa tumpul. Daripada menggarap sesuatu yang segar, film ini justru mengulang formula usang: kos-kosan misterius dan tentunya pocong yang bisa akrobat dengan lidah panjang dan digantung.
Betul, tidak salah baca. Pocong di film ini punya lidah super panjang yang ujungnya bisa berubah jadi tengkorak. Tidak jelas apakah ini horor, fantasi, atau satire. Melihatnya saja bukan seperti hantu, namun seperti layaknya creature yang ada di film-film monster.
Yang lebih membingungkan, naskahnya seperti lupa aturan dasar storytelling. Banyak adegan tidak masuk akal. Bahkan mungkin kebanyakan penonton merasa capek. Apalagi karakter-karakter yang sudah jadi template dihadirkan untuk teriak-teriak tanpa kontribusi. Sebenarnya tidak usah banyak karakter tidak masalah, konflik utama karakter utamanya saja masih belum kuat. Karakter lainnya ini seperti bukan bagian dari cerita, tapi lebih seperti pengisi perpanjangan durasi filmnya.

Akting Kaku, Makeup Dempul, dan Karakter yang Harusnya Minta Maaf
Mari bicara tentang akting. Atau lebih tepatnya, ketiadaan akting. Sandrinna Michelle sebagai Lena selalu tampil dengan makeup full coverage 24 jam non stop mulai dari bangun tidur, makan, tidur lagi, semua ekspresi tertutup dempul. Akhirnya, ekspresi emosi yang harusnya menyampaikan ketakutan justru terasa palsu dan mengganggu. Bahkan justru seperti influencer yang siap untuk photoshoot.
Ari Irham, Diah Permatasari, bahkan pemain lainnya pun tidak bisa menyelamatkan film ini. Ekspresi datar, dialog kaku, dan chemistry antar pemain kurang bersatu. Pada akhirnya, mungkin penonton tidak peduli siapa yang selamat atau yang tidak selamat, karena empati ke karakternya pun tidak terasa.
Puncaknya ada karakter Ibu Astri si pemilik kos yang diperankan Diah Permatasari, yang seharusnya menjadi sumber misteri, tapi malah tampil seperti karikatur sinetron yang tayang di jam siang, lengkap dengan intonasi dan gestur yang kelewat teatrikal.

Sound Design Berlebihan, Plot Hole dimana-mana, dan Horor yang Malah Jadi Lawakan
Sound Design film “Rego Nyowo” bisa dbilang overkill. Suara pintu, bisikan, dentuman jump scare, semua terdengar seperti ingin membalas dendam ke penonton. Scoring-nya pun terlalu mendominasi, membuat dialog utama jadi sulit dicerna. Untungnya OST-nya lumayan enak. Tapi tetap saja, satu lagu bagus tidak bisa menyelamatkan satu film yang kapalnya sudah goyang.
Plot? Berantakan. Plot hole berserakan dari awal hingga akhir. Dari mimpi penghuni kos, penampakan pocong di pohon pisang, sampai transisi yang tidak jelas antara pocong ke genderuwo. Semua terasa seperti improvisasi di tengah syuting. Tidak ada motivasi karakter yang logis, dan adegan-adegan pengulangan makin membuat penonton jenuh. Dengan eksekusi yang selalu begini terus, mungkin penonton akan malas untuk menontonnya.

Kesimpulan: Sebaiknya Tetap Menjadi Thread Saja, Tidak Perlu Difilmkan
Film “Rego Nyowo” gagal sebagai film horor dan juga gagal sebagai adaptasi. FIlm ini tidak menawarkan sesuatu yang baru, bahkan cenderung merusak standar film horor lokal yang selama ini sudah coba dibangun ulang. Tidak ada atmosfer horor yang konsisten meskipun production set yang niat, sebagai adaptasi thread horor viral justru perlakuan sinematisnya kurang begitu nendang.
Dengan naskah yang bisa dibilang template, akting cringe, karakter tanpa motivasi, hingga visual berantakan yang bersembunyi di balik tata produksi yang niat, film ini lebih cocok disebut kompilasi thread horor receh yang dipaksakan berdurasi 105 menit. Bahkan, dengan judul memakai bahasa Jawa, tetap masih tidak bisa membuat film ini memuaskan walaupun secara judul itu catchy dan membuat penasaran.
Yang menakutkan dari film “Rego Nyowo” bukan hantunya, tapi betapa seriusnya film ini diproduksi hanya untuk menyajikan ketiadaan rasa takut. Padahal, materi teaser trailernya menarik, namun ternyata hasilnya tidak semenarik materi promosi tersebut. Sayang sekali.