
Jika ada satu hal yang pasti dalam hidup ini, itu adalah ketidakpastian. Itulah yang coba disampaikan film “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu”, adaptasi novel Puthut EA oleh sutradara Hanung Bramantyo. Film ini terasa begitu dekat bukan karena klise, tapi karena siapa pun pernah berkata, “Tunggu waktu yang tepat.” Masalahnya, kapan sih waktu itu akhirnya benar-benar datang? Sering kali tidak pernah.
Hanung Bramantyo tampaknya sudah hapal betul denyut nadi Yogyakarta, menyajikan kota ini seperti rumah lama yang nyaman tapi diam-diam membuat penghuninya enggan pergi. Ketika karakter Daku (Refal Hady) nongkrong dengan tokoh-tokoh seni sebenarnya yang menjadi cameo seperti Agus Noor dan Butet Kartaredjasa, kita seolah diajak merasakan bagaimana Yogya bisa begitu menenangkan. Namun, justru disitulah jebakan berada. Kenyamanan yang terlalu lama bisa berubah menjadi “ranjau” yang menghambat. Dan bagi Daku, “menunggu waktu yang tepat” bukan lagi strategi, tapi sekedar alasan untuk lari dari kenyataan.

Pelariannya termasuk pulang ke rumah orang tua di Rembang. Hanung cerdik menangkap esensi keter jebakan itu dengan mengubah rasio layar menjadi 4:3 setiap kali Daku kembali ke kampung halaman -sebuah sangkar kecil yang ia buat sendiri. Namun, tidak selamanya film ini tenggelam dalam kegetiran, ada humor yang hadir secara natural agar tidak menyesakkan.
Sayangnya tidak semua aspek dalam film ini mengalir dengan sempurna. Beberapa dialognya terdengar seperti ceramah konservatif yang kurang nyambung dengan penonton jaman sekarang. Perspektif mengenai “perempuan idaman” dan pernikahan misalnya, masih terasa seperti warisan dua dekade lalu. Tapi kalau mengingat sumber materinya memang berasal dari novel lama, ya mau bagaimana lagi?

Untungnya, para aktor menyelamatkan semuanya. Dewi Irawan dan Slamet Rahardjo tampil sebagai orang tua yang bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga emosional. Refal Hady sendiri memainkan karakter yang awalnya terombang-ambing sebelum akhirnya menyadari bahwa waktu tidak bisa menunggu, apalagi jika kita hanya duduk diam sambil berharap semesta memberi tanda.
Pada akhirnya , film “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” adalah pengingat pahit bahwa jika kita terus menunggu, Kita hanya akan tertinggal. Toh, waktu tak pernah salah, Kitalah yang sering keliru menafsirkannya.