Review Film “Ballerina”: Ketika Balerina Menari di Atas Cerita Dendam Klise, Tapi Tetap Seru Ditonton

Dunia film “John Wick” selalu penuh dengan darah, peluru, dan dialog minimalis penuh dendam. Dan sekarang, semestanya membuka panggung baru dengan film “From The World of John Wick: Ballerina” atau simpelnya disebut film “Ballerina”, yang sudah tayang di Indonesia lebih cepat dua hari dibanding di Amerika. Film ini seperti membuka jendela, ke kamar lama, hanya untuk melihat furnitur lama yang dipoles dengan warna baru – indah, tapi tetap familiar.

Siapa Bilang Dendam Harus Logis?

Dibintangi Ana de Armas sebagai Eve MaCarro – seorang balerina sekaligus mesin pembunuh dari Ruska Roma yang sedang menjalankan hobi favorit karakter di semesta film “John Wick”: balas dendam – film ini tidak berusaha sok filosofis. Ayahnya dibunuh, dia ingin membalas. Sesederhana itu. Tidak ada pencarian makna hidup, tidak ada simbolisme berat. Hanya peluru, luka, dan kaki lentik yang bisa membunuh pria berbadan dua kali lipat lebih besar.

Cerita film “Ballerina” sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Jujur saja, naskahnya tidak akan masuk nominasi di penghargaan apapun. Klise dari awal sampai akhir. Tapi justru di situlah letak kenikmatannya: kita tidak datang ke bioskop untuk menyaksikan Eve merenungi eksistensi dirinya. Kita datang untuk melihatnya menghajar orang – dan Ana de Armas tidak mengecewakan.

Ana de Armas sebagai Eve MaCarro (Sumber: IGN)

Action Seindah Tarian, Boleh Juga Koreografi Sadisnya

Pujian pantas dilayangkan pada koreografi laga di film “Ballerina” ini. Kamera tidak digoyang seperti mabuk kopi, pengambilan gambar tidak malu-maluin, dan setiap pukulan serta tembakan dipoles dengan gaya visual khas dari film “John Wick”. Bahkan beberapa angle tampak seperti hasil brainstorming antara koreografer aksi dan koreografi tari. Hasilnya? Sadis, elegan, dan cukup artistik untuk bisa kita lupa bahwa kita sedang nonton film dengan cerita setipis tisu.

Dan tentu saja, sebagai bagian dari semesta film “John Wick”, film “Ballerina” punya standar aksi yang harus dipenuhi. Untungnya, mereka tidak sekedar copy-paste gaya John Wick, melainkan memberi sedikit sentuhan feminin yang tidak kehilangan brutalitas. Sebuah tarian berdarah yang membuat penonton meringis sekaligus terkagum.

Eve MaCarro ketika melakukan aksinya (Sumber: istimewa)

Ana de Armas, Ratu Pembantaian yang Punya Elegansi

Ana de Armas adalah pusat gravitasi film“Ballerina” . Dalam peran yang menuntut fisik dan emosi, dia tampil penuh dedikasi. Dalam adegan-adegan aksi, dia meyakinkan. Dalam momen-momen tenang (yang hanya berjumlah sekitar lima persen dari durasi film), dia tetap hadir dengan karisma yang menyelamatkan naskah dari kehampaan.

Meskipun naskah tidak memberinya banyak ruang untuk berkembang secara emosi, kehadirannya membuat kita peduli pada Eve. Kita tahu dia marah, kita tahu dia tersiksa, dan kita – anehnya – ikut mendukung pembantaian yang dia lakukan.

Salah satu momen tenang yang dimainkan sangat bagus oleh Ana de Armas (Sumber: IGn)

Sooyoung: Cameo Pemanis atau Tumbal Marketing?

Mari kita bicara soal penampilan Sooyoung (Girls’ Generation) yang sudah wara-wiri di perdrakoran. Fans K-Pop dan Drakor bersorak ketika (tiba-tiba), Sooyoung akan tampil di film “Ballerina”. Tapi kenyataannya? Ya…dia hanya muncul sebentar, terlihat keren , terus hilang. Sebuah peran yang lebih cocok disebut “Hey, we need Korea’s box office, so let’s cast a K-Pop or famous Korean star for five minutes”. Tapi jujur saja, kehadiran Sooyoung tetap mencuri perhatian dan membuat kita berharap dia mendapat peran lebih banyak di sekuel filmnya nanti, itupun kalau ada.

Sooyoung (Girls’ Generation) sebagai Katla Park di film “Ballerina” (Sumber: Wolipop)

John Wick Datang, Tapi Jangan Terlalu Senang

Keanu Reeves sebagai John Wick muncul di film“Ballerina” – tentu saja. Ini semestanya John Wick, bukan? Tapi jangan harap terlalu banyak. John Wick di film ini seperti butter banjir di popcorn: cukup untuk rasa, tapi bukan bahan utama. Dia bukan mentor, bukan musuh, bukan sidekick. Dia hanya…hadir. Tapi entah kenapa, kehadirannya membuat semuanya terasa lebih masuk akal. Mungkin itu kekuatan Keanu Reeves: diam-diam menyeimbangkan film hanya dengan tatapan kosong, baku hantam, dan tembakan presisi.

Kemunculan John Wick (Keanu Reeves) di film “Ballerina” (Sumber: istimewa)

Cerita? Tentu ada. Tapi Jangan Fokus ke Situ

Kalau kalian datang ke bioskop berharap cerita mendalam, mohon mundur pelan-pelan. Film ini tahu kelemahannya dan tidak berusaha menutupinya. Dendam lama, rahasia organisasi gelap, sedikit twist kecil yang bisa ditebak – ya begitu saja.

Tapi semua itu ditutupi oleh pacing cepat dan adegan aksi beruntun yang membuat durasi dua jam terasa seperti 40 menit. Film ini bukan untuk dinikmati otak, tapi untuk dinikmati mata dan adrenalin. Dan kadang-kadang itu sudah cukup.

Salah satu adegan action yang keren di film “Ballerina” (Sumber: Bloody Disgusting)

Kesimpulan: Balet, Darah, dan Dendam

Film “Ballerina” adalah film yang tahu persis filmnya mau jadi apa – dan sudah melakukannya dengan percaya diri. Sebuah spin-off yang tidak sempurna, tapi cukup menyenangkan untuk dinikmati. Tidak ada cerita mendalam, tidak ada karakterisasi kompleks. Tapi jika kalian ingin melihat Ana de Armas latihan balet sekaligus menembak dengan flame thrower, well, tiket bioskop tidak akan sia-sia.

Kalau punya harapan terlalu tinggi? Rendahkan. Kalau tidak ingin berekspektasi apa-apa? Sempurna. Kerena di tengah semesta film “John Wick” yang sudah kelelahan oleh kematian dan dendam, film “Ballerina” hadir sebagai hiburan cepat saji yang tetap enak disantap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *