Judul Lagu, Film, dan Masalah Izin yang Sering Dianggap Sepele: Kasus Nadin Amizah vs Film “Bertaut Rindu”

Di dunia hiburan, inspirasi memang bebas beredar. Tapi apakah itu berarti semua yang menginspirasi boleh diambil tanpa izin? Pertanyaan ini muncul kembali ke permukaan setelah penyanyi dan penulis lagu Nadin Amizah menyatakan kekesalannya atas penggunaan lirik lagunya—tepatnya kata “Bertaut” dan frasa “semua dirayakan”—dalam judul film produksi Sinemart Pictures: “Bertaut Rindu: Semua Impian Berhak Dirayakan.”

Kalau hanya baca sekilas, orang mungkin akan berpikir: “Ah, cuma judul. Lagunya juga nggak diputar di filmnya. Nggak usah lebay, Nad.”

Tapi mari kita pelan-pelan bedah: apakah memang “cuma” judul? Dan apakah benar judul lagu boleh digunakan seenaknya untuk judul film tanpa izin dari pencipta lagunya?

Satu Kata, Seribu Rasa

“Bertaut” bukan sembarang kata. Bagi penggemar musik Indonesia, terutama mereka yang mengikuti karier Nadin Amizah, “Bertaut” adalah judul lagu yang sangat personal. Lagu itu bicara tentang relasi keluarga, luka masa kecil, penerimaan, dan cinta yang tidak menghakimi. Liriknya halus, nadanya lirih, dan maknanya dalam.

Kata “bertaut” mungkin tidak bisa diklaim secara hukum, karena ia bukan istilah ciptaan Nadin. Tapi ketika sebuah kata biasa sudah melekat erat dengan identitas lagu dan kisah personal si pencipta, apakah pantas kita menganggapnya bebas pakai?

Nadin Amizah

Legal Tidak Sama dengan Etis

Secara hukum, benar: judul lagu—terutama jika hanya satu kata atau frasa pendek—tidak otomatis dilindungi hak cipta. Undang-undang lebih fokus pada keseluruhan karya (lirik, melodi, aransemen), bukan potongan kecil. Maka secara teknis, pihak rumah produksi film tidak melanggar hukum ketika memakai “Bertaut” sebagai bagian dari judul film mereka.

Tapi boleh secara hukum bukan berarti pantas secara moral.

Apalagi dalam kasus ini, pihak Nadin sudah secara eksplisit menolak permintaan kerja sama sejak awal 2024. Itu berarti niat baik atau ketertarikan pihak film sudah pernah dibicarakan, dan Nadin sudah jelas-jelas bilang, “Maaf, saya tidak bersedia.”

Dan justru di situ letak persoalannya.

Kreator Bukan Gudang Referensi Gratis

Reaksi Nadin bukan semata-mata soal hak cipta. Ini soal penghargaan terhadap keputusan kreator. Jika seorang penulis lagu menolak penggunaan karyanya, lalu sebagian besar elemen emosional dari lagu tersebut tetap digunakan—baik judul, tema, atau frasa khas—apa bedanya dengan mencuri nuansa tanpa izin?

Filmnya memang tidak memakai lagu “Bertaut” secara langsung. Tapi menggunakan kata itu dalam judul, ditambah embel-embel “semua impian berhak dirayakan” (yang sangat mirip dengan semangat lirik lagu), adalah bentuk asosiasi tidak langsung yang disengaja. Tujuannya jelas: memanfaatkan resonansi emosional yang sudah dibangun oleh lagu untuk mendongkrak keterikatan penonton terhadap film.

Saat Industri Hiburan Berpura-pura Tuli

Nadin juga menyebut bahwa pihak rumah produksi pernah berkata, “Kami tidak mau membuat kegaduhan.” Sayangnya, filmnya justru dirilis dengan judul yang membangkitkan kegaduhan itu sendiri.

Hal seperti ini membuat orang bertanya-tanya: apakah rumah produksi besar benar-benar mendengarkan suara seniman, atau hanya pura-pura sopan di awal lalu gas terus setelah ditolak? Kalau sudah begini, citra profesional berubah menjadi pencitraan, dan niat kerja sama berubah menjadi pencaplokan estetika.

Ini Bukan Sekadar Soal Nadin

Apa yang dialami Nadin bukanlah kasus pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Dunia hiburan Indonesia masih sering menganggap seniman sebagai ladang referensi gratis. Lagu dijadikan tempelan judul. Kutipan dijadikan tagline. Semuanya bisa dipakai, asalkan tidak pakai melodinya, dan tidak melanggar undang-undang.

Padahal, yang sering terlupakan adalah bahwa setiap lagu, setiap baris puisi, setiap pilihan kata—datang dari pengalaman hidup seseorang. Dan menghargainya bukan cuma urusan surat kontrak, tapi juga tentang kerendahan hati untuk meminta izin.

Akhir Kata: Yang Tak Tertulis Juga Perlu Dihormati

Dalam seni, banyak yang tak tertulis. Persetujuan moral. Nuansa personal. Hak kreatif yang tak bisa disalin hanya dengan ganti medium. Dan ketika industri hiburan terlalu sibuk mengejar viralitas hingga melupakan etika dasar, mungkin kita semua harus bertanya ulang: apa sebenarnya arti kolaborasi, dan sampai di mana batas inspirasi boleh diklaim?

Kasus Nadin Amizah menunjukkan satu hal: penghargaan terhadap kreator bukan dimulai dari takut kena hukum, tapi dari mau mendengarkan. Dan sayangnya, industri kita masih lebih senang memakai daripada memahami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *