Film “Jumbo” Versi Director’s Cut Dibatalkan, Ketika Idealisme Harus Mengalah Pada Kenyataan

Ryan Adriandhy, sutradara film Jumbo, resmi memutuskan: film Jumbo versi director’s cut tak akan pernah melihat cahaya layar lebar. Ibarat janji seorang teman yang bilang mau traktir, tapi ujung-ujungnya cuma kirim studi WhatsApp, keinginan Ryan untuk mempersembahkan film Jumbo berdurasi 118 menit akhirnya tinggal angan-angan kolektif.

Dalam sebuah wawancara, Ryan berkata, “Saya mengkonfirmasi bahwa director’s cut tidak jadi saya keluarkan.”

Sederhana, tegas, dan kalau boleh jujur-sedikit memilukan.

Don beserta kedua orangtuanya di film Jumbo (foto: Visinema Studios)

Padahal, ide tentang film Jumbo yang lebih “besar” dari yang sudah rilis seolah menjanjikan semacam surga bagi para penggemar yang haus akan adegan-adegan tambahan, atau sekedar ingin lebih lama bercengkrama dengan Don dan hantu Meri. Namun sayangnya, realitas industri film tak seindah imajinasi: ada hal-hal yang tak cukup hanya dengan niat baik. Ada realitas bernama “ruang editing,”, “banyak pihak”, dan “proses bertumbuh” yang akhirnya membuat 18 menit ekstra itu menjadi yatim piatu.

Dalam diskusi yang melibatkan Angga Dwimas Sasongko-CEO Visinema Pictures dan kolektor mimpi-mimpi sutradara muda-diputuskan bahwa film Jumbo dengan durasi 96 menit adalah bentuk terbaik yang bisa diberikan kepada dunia.

Kalimat Ryan berbunyi manis, “Karena hasil 96 menit ini saya percaya adalah bentuk ideal terbaik dari film Jumbo dimana saya sebagai sutradaranya juga berproses, bertumbuh dan diruang editing juga mendengarkan banyak pihak…”

Bentuk ideal. Bertumbuh. Mendengarkan banyak pihak.

Tiga frasa yang dalam dunia sinema kerap berarti: “Selamat tinggal, ide liar!”

Ryan tampaknya telah melewati satu frase penting dalam kariernya: menerima bahwa dunia bukan hanya tentang suara batin kreator, melainkan juga tentang diplomasi, kompromi, dan ekspektasi penonton yang dibungkus dengan angka-angka box office.

Lebih jauh, Ryan menambahkan, “Kalau misalnya saya balikin lagi si 18 menit untuk dasar 114 menit, saya merasa bisa dibilang mungkin proses kita di ruang editing jadi agak sia-sia.”

Sia-sia. Sebuah kata yang berat-terutama ketika menyangkut darah, keringat, air mata, dan suara-suara gaduh di ruang editing yang aromanya khas: kopi dingin, parfum stres, dan sedikit ego kreatif.

Tapi mari kita tidak bersedih terlalu lama. Film Jumbo kini bertengger manis di posisi ketiga film Indonesia terlaris sepanjang masa, sebuah prestasi gemilang untuk film debut penyutradaraan Ryan Adriandhy.

Dan mungkin disinilah ironi itu mengendap. Bahwa film yang katanya ideal dalam 96 menit justru menjadi bukti bahwa kadang, dalam dunia hiburan, yang “cukup” itu justru paling disukai.

Bahwa 18 menit tambahan, seberapa artistiknya, seberapa personalnya, mungkin hanya akan menjadi kemewahan kecil bagi segelintir orang-sementara publik yang sudah berteriak “lucu,seru, menghibur! Dari 96 menit yang ada, sebenarnya sudah cukup kenyang.

Seperti kue ulang tahun yang sudah dipotong-potong: mau tambah topping ceri berlapis emas pun, siapa yang masih peduli?

Dalam diam, mungkin Ryan tahu, film Jumbo 96 menit ini bukan cuma hasil kompromi, tapi juga dekralasi kematangan seorang seniman muda yang akhirnya paham bahwa berkarya bukan cuma tentang apa yang mau dia katakan, tapi juga tentang bagaimana caranya tetap berdiri ditengah sorak sorai, kritik pedas, dan harapan pasar yang kadang lebih menakutkan daripada ekspektasi keluarga saat lebaran.

Ryan menutup pernyataannya tanpa drama, tanpa air mata. Ia cukup memanggil kita semua untuk mengingat di balik setiap karya yang tampil di layar, ada ribuan keputusan kecil yang lahir dari pertarungan panjang di balik layar. Beberapa menang, beberapa hilang.

Dan dalam kasus ini, 18 menit itu…. harus rela kalah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *