Indonesia dan Film “Thunderbolts”: Kita Lagi-Lagi Cuma Jadi Latar yang Nyaris

Indonesia, negeri ribuan pulau dan jutaan harapan, kembali menempati posisi favoritnya dalam peta dunia perfilman global: posisi nyaris. Kali ini datang dari kabar hangat Marvel Studios, yang sempat mempertimbangkan salah satu menara di Indonesia untuk dijadikan lokasi syuting film Thunderbolts. Ya, sempat—dan seperti biasa, kata “sempat” di negeri ini hanya berujung pada “sayangnya tidak jadi.”

Sutradara Jake Schreier menyebutkan bahwa Indonesia sempat masuk radar mereka. Namun, yang akhirnya dipilih adalah Menara Merdeka 118 di Kuala Lumpur, Malaysia. Alasannya? Karena menara di sana lebih tinggi. Terdengar sepele? Tidak bagi Hollywood, yang membutuhkan lanskap ikonik sebagai latar aksi global. Dan sayangnya, bagi kita, kekalahan itu bukan hanya soal ukuran bangunan—tetapi cermin dari betapa pendeknya kesiapan kita dalam menjadi panggung dunia.

Coba bayangkan skenario ini: Florence Pugh menyusuri jalanan Jakarta, mengenakan jaket kulit dan ekspresi dingin, sementara kamera mengarah ke langit mendung dan suara sirene polisi lokal yang khas. Menarik? Sangat. Tapi seperti mimpi-mimpi besar lain di negeri ini, skenario itu tak pernah sampai ke layar.

Thunderbolt (foto : imdb)

Kita terlalu sering percaya bahwa “indahnya alam” dan “keragaman budaya” cukup untuk menjual negara ini ke dunia. Padahal film—apalagi sekelas Marvel—tidak hanya butuh keindahan, tapi juga sistem. Lokasi syuting butuh infrastruktur yang siap, perizinan yang cepat, keamanan yang jelas, dan birokrasi yang tidak memakan waktu lebih lama dari durasi filmnya sendiri.

Sementara negara tetangga membangun fasilitas produksi modern dan memberi insentif pajak besar-besaran, kita masih sibuk urus IMB lokasi syuting. Thailand menyulap pantai biasa jadi pulau Bond. Korea menjadikan gang kecil di Seoul sebagai latar Squid Game. Kita? Kita masih menyensor poster film karena terlalu banyak kulit terbuka. Ironis.

Tentu saja, dalam parade kekecewaan nasional seperti ini, pemerintah kita hadir. Bukan dengan solusi, tapi dengan semangat ala konferensi pers: penuh jargon, kosong isi. Mungkin nanti kita akan melihat banner di kementerian: “Selamat kepada Indonesia karena Hampir Jadi Lokasi Thunderbolts!” Lengkap dengan senyum pejabat yang lebih kaku dari CGI Hulk.

Kementerian Pariwisata mungkin akan mengatakan ini sebagai “peluang yang patut disyukuri.” Lembaga perfilman lokal akan menyebutnya “langkah awal yang positif.” Sementara para sineas independen tahu betul: ini bukan langkah, ini hanyalah gestur—itu pun tak sampai setengah langkah.

Industri film kita pun masih terpaku pada pola lama: nostalgia masa kecil, horor bertabur ayat, dan komedi yang menggantungkan diri pada viralitas TikTok. Kita belum siap menghadapi kerja sama internasional karena kita bahkan belum selesai berdamai dengan ego antarproduser lokal.

Adegan yang akhirnya tampil dalam trailer Thunderbolts menunjukkan Menara 118 berdiri angkuh, dengan latar Kuala Lumpur yang tertib, futuristik, dan siap. Terlihat papan nama “Kedai Kopi Kong Hoe”—detail kecil yang terasa nyata. Bayangkan jika Schreier memilih kita: apa yang dia lihat? Warung makan dengan 4 desain spanduk berbeda untuk satu cabang yang sama? Kabel berseliweran? Atau mungkin proses perizinan yang mengharuskan mereka izin ke RT, RW, dan Dinas Ketertiban Spiritual?

Menyakitkan memang, tapi kita harus akui: kita tidak kalah karena tidak punya keindahan, tapi karena terlalu malas mengurus keindahan itu agar bisa diterjemahkan ke layar global. Hollywood datang bukan untuk mengelus potensi, tapi untuk memanfaatkan kesiapan. Dan kita, dengan segala daya dan dalihnya, belum siap.

Pada akhirnya, kabar bahwa Indonesia hampir jadi lokasi syuting film Marvel justru dirayakan di media. Padahal itu seperti membanggakan diri karena pernah hampir pacaran dengan gebetan yang sekarang sudah menikah dengan tetangga sebelah. “Nyaris” bukan prestasi. Itu justru pengingat paling getir, bahwa kita selalu ada di tepian peluang—tanpa pernah benar-benar melompat.

Suatu hari nanti, mungkin, kamera Hollywood benar-benar akan menyorot Indonesia, bukan karena eksotisnya, tapi karena siapnya. Tapi untuk sampai ke sana, kita harus berhenti bangga dengan jadi pilihan kedua. Karena dunia perfilman tak menunggu yang nyaris—ia hanya menoleh pada yang benar-benar ada.

Film Thunderbolt dari Marvel Studios mulai tayang tanggal 30 April 2025, diseluruh bioskop di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *