Gula, Getir dan Kamera: Menelusuri Jejak Sejarah di Pabrik Gula Gondang Winangoen, Lokasi Syuting Film Pabrik Gula

Ketika sebuah bangunan tua dihampiri kamera film horor, bukan hanya adegan yang direkam, tapi juga sejarah panjang yang diam-diam ikut bicara. Itulah yang terjadi pada Pabrik Gula Gondang Winangoen di Klaten, Jawa Tengah-lokasi utama syuting film “Pabrik Gula”, yang dirilis sebagai film Lebaran 2025 dan langsung menarik perhatian publik lewat atmosfer suasananya yang otentik.

Namun, sebelum disulap menjadi latar film horor, Gondang Winangoen bukanlah tempat yang menyeramkan. Ia adalah saksi bisu dari sebuah bab penting sejarah industri Indonesia. Dibangun pada masa kolonial Belanda, pabrik ini merupakan bagian dari gelombang industrialisasi gula yang masif di pulau Jawa sejak abad ke-19. Saat itu, Indonesia, khususnya pulau Jawa, menjadi salah satu produsen utama gula dunia, meski dibalik kejayaan itu, tak sedikit penderitaan rakyat lokal yang tersembunyi.

Pabrik Gula Gondang Winangoen (sumber foto: istimewa)

Setelah melewati masa nasionalisasi dan perubahan orientasi industri pasca-kemerdekaan, Pabrik Gula Gondang Winangoen terus beroperasi hingga akhirnya resmi berhenti produksi pada tahun 2017. Pabrik ini sempat dialihfungsikan menjadi kawasan agrowisata dan museum gula, tetapi seiring berjalannya waktu, geliat pengunjung pun memudar. Mesin-mesin tua dibiarkan diam, dan lorong-lorong panjangnya kini lebih sering dihuni oleh sunyi.

Situasi inilah yang kemudian menarik perhatian sineas Indonesia. Bagi film horor, lokasi seperti ini adalah “karakter” dengan kepribadian kuat-tua, bersejarah, dan menyimpan aura mencekam yang tidak bisa direkayasa. Itulah mengapa sutradara film Pabrik Gula, Awi Suryadi, memilih lokasi ini sebagai tempat utama syuting. Tidak ada set buatan yang bisa menandingi atmosfer nyata dari dinding berlumut, alat produksi raksasa yang usang, dan nuansa masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.

Aktor utama film ini, Arbani Yasiz, bahkan menyebut bahwa lokasi syuting terasa sangat kuat secara emosional dan visual. “Bukan cuma tempat kosong.” Katanya dalam wawancara, “Tapi tempat yang punya ingatan”. Dan ingatan itu bukan hanya tentang tebu, tapi juga tentang sistem ekonomi, kolonialisme, bahkan mungkin trauma kolektif yang mengendap dalam bangunan.

Salah satu sudut pabrik gula Gondang Winangoen (foto: istimewa)

Yang menarik, keputusan untuk menjadikan pabrik ini sebagai lokasi film juga menghidupkan kembali minat publik terhadap bangunan bersejarah yang hampir terlupakan. Banyak penonton yang setelah menonton filmnya, mulai mencari tahu dimana lokasi sebenarnya, apa sejarahnya, dan apakah tempat itu bisa dikunjungi. Dalam hal ini, film horor justru memainkan peran edukatif, membawa penonton menyusuri jejak masa lalu lewat rasa takut yang terbungkus fiksi.

Hari ini, pabrik gula Gondang Winangoen tidak lagi beroperasi sebagai pabrik. Namun ia tetap “hidup”, setidaknya dalam cara berbeda: sebagai tempat syuting, tempat ekplorasi sejarah, dan kini juga sebagai simbol bagaimana sejarah bisa bergema kembali lewat medium sinema.

Dan siapa sangka? Dari tempat yang dulu menghasilkan gula, kini ia juga menghasilkan karya yang pahit, getir, namun penting-dan tidak kalah menarik-untuk ditonton dan direnungkan.

Erika Carlina dalam film Pabrik Gula (foto: istimewa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *