Film “Jumbo”, Hantu Meri, dan Ironi Bernama “Namanya Juga Anak-Anak”

Mari kita buka lembaran hari ini dengan sebuah kekhawatiran nasional yang sangat genting: anak-anak kita, generasi penerus bangsa, yang katanya terancam oleh karakter hantu bernama Meri- sosok hantu baik hati dalam film animasi Jumbo. Betapa mengerikannya bukan? Hantu bersahabat! Wah, bisa-bisa anak kita menjadi…. baik sama orang lain? “Ngeri sekali.”

Ya, baru-baru ini, sebagian orang tua tampak sibuk mengecam film Jumbo, salah satu film Lebaran 2025 yang dinyatakan layak tonton untuk semua umur. Film yang dikerjakan selama lima tahun oleh lebih dari 400 animator Indonesia ini, justru dinilai tidak cocok untuk anak-anak. Alasannya? Ada tokoh hantu bersahabat bernama Meri. Katanya takut anak-anak menjadi “terpengaruh hal mistis.” Tapi anehnya, mereka tidak takut ketika anak-anak mereka mengucap kata “Anjir”, “Anjing” dan sejenisnya, seperti menyebut nama panggilan sayang! Tidak takut pula saat anaknya mem-bully temannya di sekolah atau bahkan di dunia maya-karena katanya, “Namanya juga anak-anak.”

Don dan Karakter Hantu Meri dalam film “Jumbo” (sumber foto: Visinema Studios)

Ah, betapa selektif nya kekhawatiran itu

Sudah lupa pada Ara? Bocah viral yang dengan polosnya menghina pekerja pabrik lewat layar ponsel dan mendapat tepuk tangan dari para netizen budiman yang menganggapnya lucu, meski beberapa mengkritik sikap dan pola didikan kedua orangtuanya. “Lucu banget sih dia,” celoteh salah satu komentar. Lucu? Apakah mempermalukan orang lain kita anggap sebagai bentuk baru dari kelucuan masa kini?

Tapi kembali ke film Jumbo, film ini justru mengangkat tema besar yang nyaris punah di ruang keluarga: tentang persahabatan, mendengar sebelum ingin didengar, berani bermimpi meski dihantui ketakutan, dan ya, bullying! Ironisnya, pesan moral ini ditolak karena kehadiran tokoh hantu. Padahal, yang menghantui anak-anak sekarang bukan Meri, tapi sikap permisif orang tua yang membiarkan anaknya berkata kasar, mem-bully dan tidak tahu sopan santun.

Tentu, lebih mudah menyalahkan film daripada bercermin. Karena mengakui bahwa anak sendiri bisa bersikap buruk itu menyakitkan. Maka hadirlah mantra ajaib yang selalu dipakai: “Namanya juga anak-anak.” Mantra ini seolah menjadi jimat “penghapus dosa kecil”, dari mencubit teman, mencaci guru, sampai mempermalukan orang lain di media sosial.

Mungkin inilah saatnya orang tua bukan hanya mengawasi tontonan anak, tapi juga mulai menonton ulang perilaku mereka sendiri-apa yang mereka ajarkan, apa yang mereka contohkan, apa yang mereka biarkan, dan siapa sebenarnya “hantu” yang memberi pengaruh buruk tersebut.

Karena kalau ada yang harus ditakuti, itu bukan Meri si hantu bersahabat. Tapi sikap masa bodoh yang (lagi-lagi) dibungkus dengan kalimat manis, “Ah, biasa, namanya juga anak-anak.”

Dan jika itu terus dibiarkan, jangan-jangan kelak anak-anak kita tumbuh bukan menjadi Don yang pemberani dan empatik, tapi menjadi Ara yang viral karena mengolok-lalu dibela orang dewasa karena dianggap “cuma untuk lucu-lucuan.”

Siapa sebenarnya yang perlu diberi rating usia, ya? Filmnya, atau pola asuh kita?

Film Jumbo (foto: Visinema Studios)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *