Fenomena Film “Jumbo” vs Hantu Deadline: Saat Animasi Menampar Horor Kejar Setoran

Mari kita akui sesuatu yang tak ingin kita akui: kita, sebagai bangsa, sedang berada di bawah teror. Bukan teror supranatural dari hantu pocong CGI yang makin tampak seperti filter Instagram gagal, tapi teror tayangan bioskop yang saban bulan dihantam film horor demi film horor, seolah tak ada genre lain di dunia ini. Jika sinema adalah cermin masyarakat, maka apa yang tercermin saat ini adalah masyarakat yang hidup berdampingan dengan arwah penasaran, demi cuan.

Lalu datang Jumbo. Sebuah film animasi. Sebuah simbol. Sebuah suara dari tengah hutan industri perfilman yang nyaris punah daya pikirnya.

Diproduksi oleh Visinema Studios dan disutradarai oleh Ryan Adriandhy, Jumbo hadir seperti semprotan baygon di tengah kerumunan nyamuk film horor lokal yang makin absurd. Lebih dari 9 juta orang berbondong-bondong ke bioskop bukan untuk melihat kepala kebalik atau makhluk astral yang nongol di belakang kulkas, tapi untuk menyaksikan kisah Don—anak berbadan besar dengan jiwa lembut yang berani melawan perundungan.

Film “Jumbo” (foto: Visinema Studios)

Dan ini bukan sekadar sukses box office. Ini adalah revolusi diam-diam. Ini adalah tamparan penuh kasih ke wajah industri yang terlalu lama memanjakan hasrat penonton dengan ketakutan murahan dan logika yang dikubur bersama naskah.

Masyarakat Indonesia—yang seringkali diremehkan seleranya—ternyata bisa dan mau menonton film animasi lokal, asalkan isinya waras. Ya, waras. Sesuatu yang mulai jadi barang langka di bioskop akhir-akhir ini.

Pakar seperti Heru Sutadi menyebut Jumbo sebagai bukti bahwa manusia, dengan segala keterbatasan dan emosinya, masih bisa membuat karya yang menyentuh, tanpa perlu bantuan AI. Firman Kurniawan bahkan menyebut bahwa kreativitas manusia belum bisa ditandingi oleh teknologi. Ternyata, yang sulit ditandingi bukan teknologi luar negeri, tapi rasa malas berpikir dari sebagian pembuat film kita.

Apa yang dilakukan Visinema Studios dengan Jumbo adalah kerja keras—melibatkan 400 animator lokal, membangun dunia yang relatable, dan menyiapkan karakter yang bisa bertahan lebih lama dari efek jump scare. Mereka tidak menjual ketakutan, mereka menjual harapan. Dan masyarakat, ternyata, masih mau beli harapan.

Reza Rahadian sampai terharu. Joko Anwar menyatakan rasa bangga. Pemerintah lewat Menparekraf juga ikut nimbrung, memuji kualitasnya yang “gak kalah sama luar negeri”. Hebat. Tapi jangan lupa, ini semua bisa terjadi karena Jumbo tidak lahir dari kejar tayang. Tidak lahir dari kegagapan deadline. Tidak pula karena produser panik harus setor film tiap dua bulan demi eksistensi.

Berapa banyak film horor lokal yang terasa seperti skripsi dikerjakan semalam? Penonton disuguhi hantu random, plot bolong, karakter yang lebih hambar dari tahu rebus. Lalu di akhir tayang, kita hanya bisa mengelus dada—bukan karena takut, tapi karena kesal.

Bahkan, ada satu dua sutradara yang nampaknya seperti kejar setoran untuk memproduksi film horor. Tak peduli bagus atau tidak. Tak peduli tema atau judulnya yang hampir sama. Tak peduli masuk akal atau tidak, yang penting (mungkin) eksistensi mereka sebagai sutradara diakui. Maka lahirlah film-film yang terasa seperti hasil kerja mesin fotokopi dengan tinta ide yang makin pudar.

Jumbo muncul sebagai jawaban dari keresahan itu. Ini bukan hanya film. Ini adalah simbol bahwa industri ini masih bisa bernapas dengan paru-paru sendiri, bukan paru-paru artificial beraroma mistis. Ini juga semacam teguran untuk para sineas yang terlalu nyaman dengan zona horor mereka. Bahwa di luar sana, penonton menunggu sesuatu yang lain. Sesuatu yang segar, masuk akal, dan tidak membuat kita bertanya, “Kenapa sih ada hantu di WC umum lagi?”

Visinema Studios menyebut Jumbo sebagai “evergreen IP“, sebuah upaya jangka panjang untuk membangun dunia dan karakter yang bisa berkembang lintas medium. Dan itu artinya: mereka berpikir jauh ke depan. Sementara beberapa produser horor tampaknya berpikir tidak lebih jauh dari tanggal tayang dan poster viral.

Mungkin sudah saatnya industri film kita berhenti mengejar rasa takut dan mulai mengejar rasa. Karena jika seorang anak seperti Don bisa membuat kita menangis, tertawa, dan pulang dari bioskop dengan hati hangat, maka apa lagi alasan kita untuk terus-menerus mengonsumsi cerita yang dibuat sekadarnya?

Terima kasih Jumbo. Karena di tengah kebisingan jeritan palsu dan hantu bermake-up menor, kamu hadir sebagai suara akal sehat yang tak perlu menakuti untuk bisa menyentuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *