Selamat datang kembali, keluarga superhero Marvel yang selama ini seperti anak tiri! Setelah tiga film terdahulu (sebenarnya ada film pertama sekali tahun 1994 yang gagal tayang) yang pantas disebut “Fantastic Flop”, akhirnya The Fantastic Four kembali ke pangkuan yang seharusnya: Marvel Studios.
Disutradarai oleh Matt Shakman dan menandai pembuka resmi Phase 6 MCU, film “The Fantastic Four: First Steps” adalah film yang tidak hanya membawa harapan bagi fans lama, tapi juga jadi bukti bahwa Marvel Studios masih bisa membuat film dari naskah yang benar. Bukan hanya efek CGI dan lelucon setiap lima menit.

Tapi ada satu twist penting di film ini – ini bukan Earth-616 (MCU prime timeline), melainkan Earth-828. Timeline alternatif yang ber-setting di tahun 1960-an, lengkap dengan nuansa retro-futuristik, kostum klasik, dan…well, multiverse masih belum pensiun rupanya.
Dan kita disambut oleh pahlawan yang tidak perlu topeng untuk disukai: Reed Richards / Mr. Fantastic (Pedro Pascal), si jenius yang (untungnya) tidak terlalu banyak pamer IQ. Sue Storm / Invisible Woman (Vanessa Kirby), sang istri dan calon ibu yang…akhirnya punya kedalaman karakter. Johnny Storm / Human Torch (Joseph Quinn), flamboyan tapi nggak annoying. Ben Grimm / The Thing (Ebon Moss-Bachrach), si batu besar dengan hati lembut – dan akhirnya menyebut teriakan andalannya: “It’s clobberin’ time!”.
Akhirnya, Film Superhero yang Ingat Mereka Juga Punya Hati
Lupakan drama berlebihan atau asal-asalan “save the world” klise. Film “The Fantastic Four: First Steps” berani memulai dengan…kebahagiaan rumah tangga. Ya, hanya Marvel Studios yang bisa membuat momen kehamilan jadi menarik di tengah genre superhero.
Kisah dimulai saat Reed dan Sue menjalani kehidupan normal mereka – nyaris seperti sitkom tahun 1960-an – hingga akhirnya Sue hamil anak pertama mereka. Sebuah pembukaan sederhana tapi menyentuh. Tak disangka, momen kecil ini justru jadi pondasi emosional film.
Lalu apakah berubah jadi opera sabun? Tidak sama sekali. Justru dari sinilah konflik berkembang dengan wajar dan logis. Mulai dari kemunculan Silver Surfer versi Shalla-Bal (Julia Garner) yang ternyata bukan hanya cameo asal lewat, sampai pada kemunculan villain utama, Galactus (Ralph Ineson), yang … tidak lagi berbentuk awan seperti di film tahun 2007. Benar, Marvel Studios akhirnya belajar!

Action-nya Nendang, Tanpa Harus Ngotot Pamer CGI
Dari segi aksi, film “The Fantastic Four: First Steps” tampil meyakinkan. Bukan karena ledakan besar atau efek visual penuh warna, tapi karena koreografi dan pacing yang pas. Tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu pelan, walaupun keseluruhan film terasa cepat. Bahkan ada beberapa sekuen pertarungan yang terasa seperti gabungan antara film heist dan battle klasik yang benar-benar terasa seperti…keluarga.
Apakah terlalu ramah anak? Tidak juga. Justru film ini berhasil menjaga keseimbangan: cukup dewasa tanpa menjadi suram. Cukup fun tanpa menjadi kekanak-kanakan. Dan thank God, tidak ada jokes receh setiap 5 menit seperti tren MCU belakangan ini.

Villain yang Punya Alasan, Bukan Sekadar Pemusnah Planet
Galactus, si pemakan planet, kali ini tampil dengan nuansa mitologis yang kuat. Bukan hanya monster luar angkasa raksasa seperti robot yang ingin “makan bumi karena lapar”, tapi punya motivasi yang jelas yang bisa dimengerti. Bahkan Silver Surfer alias Shalla-Bal juga digambarkan kompleks – bukan pion biasa. Villain yang ditulis dengan baik? Sudah saatnya.

Akhirnya Marvel Studios Membuat Film yang Layak Ditonton Berkali-Kali
Para pemain tampil prima. Chemistry antara keempat pemain utama terasa alami, terutama Pedro Pascal dan Vanessa Kirby. Jonny Storm versi Joseph Quinn jauh dari karikatur “cowok sok keren”. Dan Ben Grimm versi Ebon Moss-Bachrach? Bahkan ketika seluruh tubuhnya adalah batu, dia tetap bisa bikin kita semua simpati.
Plotnya padat, nyaris tanpa lubang. Ini keajaiban tersendiri, mengingat sejarah MCU yang kadang suka “lupa” logika demi twist murahan.
Dan jangan buru-buru keluar dari bioskop. Mid-credit scene sangat PENTING – seolah Marvel Studios berkata: “Lihat, kami punya rencana!” Meskipun penonton masih bertanya, lalu bagaimana Fantastic Four bisa masuk ke Earth-616 seperti di post-end credit scene di film “Thunderbolts*” alias “The New Avengers”? Lalu adegan tambahan lagi di akhir film? Boleh ditunggu, boleh juga dilewatkan.

Kesimpulan: Fantastic Four Akhisrnya Tidak Lagi Memalukan
Film “The Fantastic Four: First Steps” bukan hanya comeback yang elegan, tapi juga titik balik bagi Marvel Studios. Film ini menunjukkan bahwa mereka masih bisa bercerita dengan hati, bukan hanya dengan efek dan marketing.
Ini bukan sekadar reboot. Ini adalah permintaan maaf. Dan syukurlah, kita bisa menerimanya dengan senyum – dan mungkin tiket nonton kedua. Saksikan di bioskop terdekatmu sekarang, kami sarankan nontonlah di IMAX atau layar sebesar mungkin dengan Dolby Atmos.