Review Film “Keluarga Super Irit”: Saat Bertahan Hidup Jadi Komedi, dan Jakarta Menjadi Rumah

Mari kita jujur sejenak.

Beberapa tahun terakhir, bioskop Indonesia seperti rumah hantu: penuh jeritan, api menyala-nyala, dukun santet dari zaman VOC, dan perempuan merangkak dari kamar mandi. Kalau kamu melempar batu ke daftar film yang tayang minggu ini, kemungkinan besar kamu akan kena satu: film horor. Dan kalau tidak hati-hati, itu horor-hororan dari TikTok atau thread X (dulu Twitter) yang diangkat jadi film tanpa naskah.

Lalu datang “Keluarga Super Irit”.

Sebuah film yang tidak mengandalkan tuyul, tapi tetap sukses bikin merinding—karena kamu sadar, kamu mungkin hidup lebih irit dari keluarga di layar.

Kisah Heroik Bertahan Hidup di Era PayLater

Film ini berkisah tentang keluarga Sukaharta, yang nama keluarganya bisa jadi jokes tersendiri, mengingat dompet mereka lebih mirip keluarga Sukasedih. Hidup mereka penuh strategi bertahan yang hanya bisa lahir dari krisis ekonomi dan kreativitas keterpaksaan.

Disutradarai dengan penuh kasih oleh Danial Rifki, Keluarga Super Irit diadaptasi dari buku komik keluarga populer—dan berhasil mempertahankan semangat komikalnya tanpa kehilangan kedalaman emosi. Dwi Sasono dan Widi Mulia tampil luar biasa sebagai Pak Tony dan Bu Linda, pasangan orang tua yang tidak berkhotbah soal hemat tapi menunjukkan lewat aksi sehari-hari: tidur hemat, makan hemat, hidup hemat.

Mereka punya tiga anak yang karakternya unik:

Billy, si pecandu e-commerce penuh semangat

Sally, penemu DIY serba salah kaprah

Kenny, balita dengan kalkulasi finansial setara akuntan senior.

Mereka ibarat Avengers of Budgeting—minus kekuatan super, tapi plus kupon belanja.

Mereka bukan superhero. Tapi mereka bisa membuat pasta gigi yang sudah gepeng dipakai satu minggu lagi, dan membuat ulang tahun anak tetap meriah hanya dengan sisa kertas kado tahun lalu. Itu baru super power. Tony Stark pasti iri.

Keluarga ini hidup di Jakarta. Tapi bukan Jakarta ala sinetron—dengan taman hijau dan rumah dua lantai, melainkan Jakarta yang lebih realistis: sempit, panas, dan berisik. Dan entah kenapa, di sinilah film ini terasa paling jujur. Kita semua, secara kolektif, sedang bertahan hidup. Tapi tidak semua dari kita bisa tertawa sambil melakukannya.

Cameo, Warna, dan Humor yang Tidak Maksa

Oki Rengga, Choky Sitohang, dan Mandra hadir sebagai cameo, mencuri perhatian seperti tetangga yang numpang gosip di warung. Kehadiran mereka tidak hanya sebagai pemanis, tapi memperkuat nuansa “kampung” dalam cerita. Warna visual film—hasil khas Falcon Pictures—memiliki tone hangat seperti unggahan Instagram 2015: sedikit terlalu manis, tapi tetap nyaman dilihat.

Dan komedinya? Organik. Tidak pernah dipaksakan. Ia lahir dari keabsurdan hidup irit: dari rapat keluarga yang berubah jadi diskusi cost-benefit, hingga keputusan untuk tidak beli sabun baru karena sabun lama masih bisa dibelah dua.

Pengiritan, Tapi Tidak Pelit dengan Rasa

Ada kekhawatiran awal bahwa film ini akan jatuh pada tipikal slapstick komedi receh: ember jatuh, orang terpeleset, dan tertawa karena adegan didramatisasi dengan suara “boink!”. Tapi tidak. Film ini—anehnya—berdiri dengan tulus. Komedinya tidak dibuat-buat. Karena apa yang lebih lucu dari hidup yang terlalu nyata?

Keluarga ini adalah potret kita: menyeduh ulang teh, memelihara sandal jepit bolong, dan berdiskusi serius soal harga LPG. Mereka bukan karikatur. Mereka manusia.

Dan justru di situlah kekuatan film ini. Ia berani menertawakan kenyataan, tanpa mengejek. Ia menampilkan kemiskinan tanpa eksploitasi air mata.

Alternatif Wajib Saat Bioskop Dipenuhi Jeritan Palsu

Film ini adalah semacam detox dari racun film horor yang temanya makin tidak jelas. Tahun ini saja, kita sudah ditawari film tentang hantu wanita zaman Belanda, jin korporat, dan tukang urut berilmu hitam. Menonton Keluarga Super Irit rasanya seperti mandi sore setelah seminggu dikejar tuyul.

Dan film ini tidak butuh efek CGI. Ketakutannya nyata: harga cabai yang melonjak, listrik yang harus dihemat, dan anak yang minta HP baru padahal gaji belum naik.

Akhirnya, Film yang Tidak Menjual Ketakutan Tapi Menawarkan Harapan

Ada sesuatu yang menyentuh di akhir film ini. Sebuah kesadaran bahwa di tengah semua keterbatasan, mereka tidak pernah benar-benar kekurangan. Karena mereka punya satu sama lain.

Satu-satunya hal yang menakutkan dari film ini adalah: kenyataannya terlalu dekat dengan hidup kita. Tapi untungnya, film ini memilih menjadikannya komedi—dan bukan tragedi.

Dan buat kalian yang bosan ditakut-takuti oleh film horor yang semua judulnya mengandung kata “perjanjian”, “pengabdi”, atau “kutukan”—Keluarga Super Irit adalah oase. Sebuah film manusiawi, cerdas, dan ironis. Di tengah dunia yang makin gila, film ini hadir seperti diskon akhir bulan: tidak menyelesaikan masalah, tapi bikin hati hangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *