Di tengah semesta sinema Indonesia yang kerap dipenuhi oleh romansa instan—yang lebih mirip iklan minuman kemasan daripada kisah cinta yang menyentuh nurani—datanglah “Tak Ingin Usai di Sini”, sebuah film yang mencoba menyuguhkan cinta dari sisi yang lebih getir. Disutradarai oleh Robert Ronny dan dibintangi oleh Vanesha Prescilla (sebagai Cream) serta Bryan Domani (sebagai K), film ini merupakan adaptasi dari melodrama Korea More Than Blue (2009), yang dulu dibintangi oleh Kwon Sang-woo dan Lee Bo-young.
Dan ya, ini remake. Tapi jangan buru-buru mengerutkan kening. Versi Indonesia-nya ternyata tidak sekadar menyalin tempelan dari naskah Korea lalu menggantinya dengan bumbu lokal seperti “nasi padang” atau “motor bebek”. Justru, film ini punya keberanian tersendiri untuk menempuh jalur emosi yang sedikit berbeda.
Premis yang (Sekilas) Klise, Tapi Gigit
K menderita kanker stadium lanjut. Hidupnya tinggal menghitung bulan. Tapi alih-alih menghabiskan waktu tersisa dengan Cream—perempuan yang dia cintai sejak lama—K justru sibuk mencarikan pria lain untuk menggantikan dirinya. Seorang pengganti yang diharapkan bisa mencintai Cream setelah ia tiada.

Cinta yang aneh? Mungkin. Tapi bukankah kita hidup di zaman ketika cinta diukur dari seberapa besar kamu rela diem-diem menghapus diri kamu sendiri dari hidup seseorang… demi kebahagiaannya?
Ini bukan romansa dalam balutan pesta kejutan dan bunga-bunga yang mekar. Ini romansa dalam bentuk pengorbanan bisu, yang terkadang justru lebih nyaring daripada teriakan “aku cinta kamu”.
Akting Natural, Chemistry Tidak Dipaksakan
Salah satu nilai lebih film ini adalah chemistry antara Bryan Domani dan Vanesha Prescilla. Tidak ada usaha keras untuk “terlihat cocok”—mereka memang cocok. Bryan membawa karakternya dengan lapisan yang halus dan menyedihkan, tanpa perlu terlalu dramatis. Sementara Vanesha, yang selama ini dikenal cukup selektif dalam memilih peran, tampil meyakinkan sebagai Cream yang tangguh tapi rapuh di waktu bersamaan.
Dan tidak, ini bukan pasangan yang bikin iri karena terlalu sempurna. Mereka bukan couple goals Instagram. Mereka manusia—dan untungnya, film ini membiarkan mereka tetap begitu.
Drama yang Tidak Meratap, Tapi Mengiris
Salah satu kekhawatiran terbesar ketika menonton melodrama adalah terjebak dalam “pornografi kesedihan”—adegan-adegan yang dibuat semata untuk memeras air mata. Untungnya, Tak Ingin Usai di Sini tidak sepenuhnya jatuh ke dalam jebakan itu. Memang ada bagian yang terlalu panjang, dan beberapa dialog kadang terasa seperti draft WhatsApp yang terlalu sering diedit. Tapi secara keseluruhan, narasi tetap terasa solid, dengan puncak emosi yang cukup terkendali.
Dan soal ending? Versi Indonesia mengambil jalur yang lebih pahit tapi logis: alih-alih mati bersama, Cream terus hidup. Sebuah keputusan naratif yang barangkali akan membuat penonton K-drama garis keras gigit jari, tapi justru memberikan bobot emosional yang lebih dewasa.
Bukan Tanpa Cela
Kritik tentu tetap perlu disampaikan. Beberapa bagian cerita terasa terlalu berhati-hati, seolah takut penonton tidak “mengerti maksudnya”. Scoring cukup efektif namun cenderung repetitif, dan transisi antara adegan kadang kurang mulus. Film ini juga kadang tergoda untuk menjelaskan terlalu banyak lewat dialog—sebuah kebiasaan lama yang sulit ditinggalkan oleh sineas lokal.
Namun, dibandingkan banyak film drama cinta lokal yang sibuk menjual adegan pelukan di bawah hujan, Tak Ingin Usai di Sini berani bertaruh pada hal yang lebih esensial: rasa.
Kesimpulan: Cinta Tidak Selalu Harus Bersama
“Tak Ingin Usai di Sini” bukan film yang sempurna. Tapi ia menawarkan sesuatu yang lebih tulus dari sekadar kisah cinta dua sejoli. Ia bicara tentang cinta yang diam-diam, cinta yang tidak minta dilihat, tidak juga ingin diabadikan di feed sosial media. Cinta yang tahu kapan harus mengalah, dan kapan harus pergi—meski sebenarnya tak ingin.
Dan kalau kamu masih berpikir bahwa cinta sejati harus berakhir bersama, mungkin kamu perlu nonton ini. Setidaknya untuk tahu bahwa kadang, melepaskan adalah bentuk cinta paling radikal yang bisa diberikan manusia.