Review Film “Mission: Impossible – The Final Reckoning” – Penutup yang Berkesan, Aksi Besar-besaran, Tapi Cerita (agak) Berantakan

Sudah tiga dekade lamanya Ethan Hunt melompat dari gedung, bergelantungan di pesawat, dan menghindari kematian dengan cara yang nyaris mustahil. Tapi di film “Mission: impossible – The Final Reckoning”, film kedelapan sekaligus penutup saga film “Mission: Impossible” , kita justru dibuat bertanya-tanya: apakah benar ini akhir yang layak untuk semua kerja keras, darah dan keringat itu?

Dibuka dengan segala macam eksposisi tentang ancama digital bernama The Entity, film “Mission: Impossible- The Final Reckoning” langsung menyodorkan kita pada labirin politik, paranoia global, dan dialog panjang lebar tentang teknologi yang entah mengancam atau hanya membingungkan. Satu jam pertama terasa seperti mengikuti tutorial panjang di YouTube yang tidak bisa kita skip. Plotnya padat , tapi tidak efektif, rasanya seperti film aksi yang tanggung.

Tom Cruise sebagai Ethan Hunt yang bergelantungan di pesawat tanpa stunt. (Sumber: Entertainment Weekly)

Ketika ‘Mission’ Terlalu Sibuk Menjelaskan, Bukan Menyelesaikan

Satu hal yang mengganggu adalah bagaimana film “Mission: Impossible – The Final Reckoning” terlalu percaya kalau penonton butuh penjelasan mendetil untuk setiap ancaman. Alih- alih membuat ketegangan, yang muncul jutru rasa jenuh. Sutradara Christopher McQuarrie tampak ingin membalut film ini dengan keseriusan, tapi melupakan bahwa keindahan seri ini justru ada pada kesederhanaannya: misi jelas, aksi intens, karakter kuat.

Di film ini, kita harus menghadapi subplot tentang siapa yang bisa dipercaya, bagaimana dunia dikuasai algoritma, dan plot-plot yang berputar seperti mainan gasing. Ethan Hunt bahkan terasa seperti figuran di dunia yang terlalu sibuk memikirkan moralitas AI dan metafora tentang kehilangan kendali.

Kalau berharap akan ada karakter yang benar-benar berkembang, ya…harap bersabar. Beberapa karakter lama seperti Eugene Kittridge (Henry Czerny) muncul lagi tapi tidak memberi banyak bobot, sementara karakter baru seperti Grace (Hayley Atwell) punya potensi tapi langsung didorong menjadi sentral, seolah penonton harus langsung peduli – padahal film belum memberinya cukup alasan untuk itu.

Salah satu adegan emosional di film “Mission: Impossible – The Final Reckoning” (Sumber: Vanity Fair)

Aksi Spektakuler, Tapi Emosinya Kurang Greget

Untungnya, begitu bagian aksi dimulai, kita diingatkan kenapa di setiap film “Mission: Impossible” tetap satu level di atas kebanyakan film aksi lain. Set piece di kereta? Brilian. Adegan gelantungan di pesawat? Gila. Submarine? Tegang maksimal. Tom Cruise, seperti biasa, tidak melakukan sesuatu secara setengah-setengah. Tubuhnya tetap jadi alat promosi terbaik Hollywood untuk asuransi jiwa.

Namun, semua itu hanya berfungsi sebagai selingan adrenalin, bukan pendorong emosi. Kehadiran Benji (Simon Pegg) dan Luther (Ving Rhames) masih menyenangkan, tapi fungsinya terasa lebih sebagai pemanis nostalgia daripada benar-benar vital. Terlebih lagi, ketiadaan Ilsa Faust (Rebecca Ferguson) sangat terasa. Karakter Grace memang karismatik, tapi terasa seperti pengganti darurat yang ditempel secara terburu-buru.

Tapi secara teknis, penyutradaraan Christopher McQuarrie tetap impresif. Sinematografi tajam, pengeditan cekatan, dan scoring-nya yang menegangkan. Tapi tanpa naskah yang kokoh dan emosi yang terkunci, semua kecanggihan itu terasa seperti pesta visual yang lupa alasan kenapa kita datang ke pesta itu sejak awal.

Tom Cruise membuktikan usia bukan halangan buat beraksi eksstrim. (Sumber: Istimewa)

Penutupan yang Gantung, Tapi Bukan Karena Ada Sequel

Sebagai film kedelapan dari rangkaian film “Mission: Impossible”, ini sudah dikonfirmasi kalau benar-benar berakhir dari saga cerita Ethan Hunt. Untuk sebagai film penutup, “Mission: Impossible – The Final Reckoning” seharusnya menjadi klimaks emosional dari perjalanan panjang penuh bahaya. Tapi anehnya, film ini malah enggan menyimpulkan apa-apa. Ending-nya terasa terburu-buru sekaligus menggantung – bukan karena ada sequel, tapi lebih karena tidak tahu cara menyudahi dengan layak.

Alih-alih menghadirkan momen klimaksyang benar-benar menggugah, kita malah disuguhkan keputusan naskah yang tampaknya ingin bermain aman: cukup tutup ceritanya dengan setengah tuntas, dan serahkan sisanya ke interpretasi penonton. Sayangnya, ini membuat film “Mission: Impossible – The Final Reckoning” terasa seperti footnote daripada bab penyelesaian atau pamungkas.

Salah satu adegan di film “Mission: Impossible – The Final Reckoning” (Sumber: Istimewa)

Ada pesan soal pengorbanan, loyalitas, dan ancaman teknologi, tapi semuanya disampaikan sambil lalu. Mungkin karena terlalu sibuk mengurus kejar-kejaran global, ledakan dramatis, dan plot twist yang kelewat rumit, film ini lupa bahwa penutupan seharusnya punya bobot emosional lebih dari sekedar “Tom Cruise masih bisa jumpalitan”. Secara keseluruhan walaupun cerita agak berantakan, nikmati saja aksinya yang bombastis meskipun harus menahan ngantuk di satu jam pertama. Nikmatilah di layar IMAX supaya rasa kantuk itu bisa terbayarkan untuk adegan aksi yang spektakuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *