Ringgo Agus Rahman dan Piala Citra: Akankah Tahun Ini Menjadi Dua Kali Berturut-turut?

Setelah mencatatkan tonggak penting dalam kariernya lewat kemenangan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2024 lewat film “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” , Ringgo Agus Rahman kembali menjadi nama yang diperhitungkan tahun ini. Bukan karena satu film, tapi dua. Dan bukan hanya karena kehadiran semata, tapi karena dua penampilan yang menampilkan sisi berlawanan dari spektrum keaktoran Ringgo—masing-masing dengan bobot emosi dan dimensi karakter yang tak kalah menantang.

Tahun ini, Ringgo berpeluang meraih dua nominasi sekaligus di FFI 2025: sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik lewat film “1 Kakak 7 Ponakan”, dan Pemeran Utama Pria Terbaik lewat film “Panggil Aku Ayah“. Dua karakter. Dua dunia. Tapi satu benang merah: kejujuran dalam berakting.

Ringgo Agus Rahman di FFI 2024

Eka: Ketika “Red Flag” Tak Perlu Dimaklumi, Tapi Harus Dipahami

Dalam “1 Kakak 7 Ponakan”, Ringgo berperan sebagai Eka, suami Osa yang baru kembali dari Australia. Karakter Eka digambarkan sebagai sosok yang keras kepala, menyebalkan, dan penuh ego. Ia tipe pria yang dalam bahasa netizen masa kini disebut sebagai “red flag”—keras di luar, rapuh di dalam. Tapi Ringgo tak berusaha menjadikannya karakter simpatik. Ia biarkan Eka tampil otentik, dengan segala sisi menyebalkan dan luka yang tertutup rapat.

Peran ini tidak dominan dalam struktur narasi film, namun menjadi pemantik dinamika. Eka adalah sumber konflik, tapi juga cermin dari banyak pria dalam realitas sosial kita: enggan berubah, sulit mendengar, tapi menyimpan keinginan untuk tetap relevan di tengah keluarga yang terus bergerak maju. Dengan pendekatan minim gimmick, Ringgo menyulap Eka menjadi karakter pendukung yang justru melekat di benak penonton.

Jika FFI menilai berdasarkan kekuatan karakter yang hidup di sela-sela alur, Eka adalah kandidat yang terlalu sulit untuk diabaikan.

Dedi: Dari Gahar Jadi Ayah, Lahirnya Kepekaan yang Tak Terduga

Sementara itu, dalam “Panggil Aku Ayah”, Ringgo memerankan Dedi Kosasih, seorang penagih utang yang gahar dan meledak-ledak. Karakter Dedi tampaknya klise pada awalnya: tukang tagih yang galak dan intimidatif. Tapi cerita berubah ketika ia dititipi seorang anak perempuan bernama Intan—putri dari pemilik utang yang tak mampu membayar.

Di sinilah film menyelam lebih dalam, dan Ringgo mengajak penonton menyelami perubahan batin Dedi. Dari penagih utang yang serampangan, Dedi perlahan menjadi sosok ayah yang penuh kasih, namun tetap kikuk dengan peran barunya. Ringgo tidak membuat Dedi tiba-tiba menjadi malaikat. Ia tetap kasar, tetap bingung, tapi secara perlahan membuka ruang dalam dirinya untuk merawat, menyayangi, dan melindungi.

Transformasi emosional ini yang membuat Dedi bukan sekadar karakter utama, tapi pusat gravitasi cerita. Ia tidak mendominasi layar dengan monolog panjang, tapi memikat lewat keheningan dan kejanggalan yang jujur. Dedi adalah potret dari pria yang belajar menjadi “ayah” bukan karena darah, tapi karena pengalaman dan cinta yang datang tanpa direncanakan.

Aktor yang Tumbuh Lewat Kesadaran, Bukan Kehebohan

Keunggulan Ringgo Agus Rahman bukan datang dari gaya atau teknik yang flamboyan. Ia tidak pernah merasa perlu tampil “berat” untuk terlihat mendalam. Justru kekuatannya terletak pada pilihan-pilihan kecil: gesture yang tak dibuat-buat, dialog yang diucapkan tanpa pretensi, dan ekspresi yang mengandung ribuan perasaan tanpa satu kata pun.

Dalam dunia industri film yang semakin kompetitif dan sarat branding, Ringgo tampil sebagai sosok langka—aktor yang tidak memaksa untuk menonjol, tapi tetap menonjol karena kejujurannya. Ia tidak bermain di setiap film besar. Ia memilih dengan hati. Dan hasilnya, dua peran di dua film yang sangat berbeda ini menunjukkan betapa luas rentang emosi yang ia miliki.

Menuju FFI 2025: Momentum dan Kematangan

FFI 2025 menjadi panggung ideal untuk mengakui pencapaian Ringgo yang sedang mencapai puncak kematangan aktingnya. Di satu sisi, ia menyuguhkan karakter pendukung yang penuh konflik internal. Di sisi lain, ia menghidupkan karakter utama yang penuh kepekaan tanpa melodrama. Dua pendekatan berbeda, tapi sama-sama kuat.

Apakah ini saatnya Ringgo mencetak sejarah dengan dua nominasi sekaligus—dan mungkin dua kemenangan? Jika juri menilai berdasarkan keberanian mengeksplorasi karakter dan kekuatan emosi yang membumi, maka jawabannya: sangat mungkin.

Ringgo adalah aktor yang tidak mencari piala. Tapi justru karena itu, Piala Citra mungkin kembali datang kepadanya—sebagai bentuk penghargaan atas kerja yang tak banyak bicara, tapi selalu sampai ke hati.

“Panggil Aku Ayah” kini sedang tayang di bioskop, mulai tanggal 7 Agustus 2025. sementara “1 Kakak 7 Ponakan” sudah dirilis awal tahun ini dan menuai banyak pujian karena keberhasilannya menggambarkan kompleksitas keluarga urban. Dua film, dua karakter, dan satu aktor yang sedang berada di titik terpenting kariernya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *