Review Film “Jalan Pulang”: Ketika 3 Ratu Horor Berkumpul, Dan Berhasil Bikin Penontonnya Pengin Cepat Pulang

Jalan Pulang datang dengan ambisi besar dan materi promosi yang bombastis. Dibalut premis spiritual dan mistik Jawa, serta jajaran aktor yang dijuluki “3 ratu horor Indonesia” (Luna Maya, Shareefa Daanish, Taskya Namya), film ini seolah menjadi sebuah deklarasi: horor lokal kini naik kelas. Sayangnya, deklarasi itu tinggal klaim.

Film ini seakan menjual satu hal: “Tiga ratu horor bersatu dalam satu film.” Tapi setelah menonton, terasa jelas bahwa tagline tersebut hanyalah kemasan. Isinya tak sekuat yang dijanjikan. Ekspektasi dibangun tinggi oleh deretan nama besar dan latar cerita yang potensial, namun semuanya tampak tidak diolah dengan kedalaman yang cukup.

Cerita yang Tersesat dalam Kabut Ambisi

Mengikuti perjalanan seorang ibu bernama Lastini (Luna Maya) bersama dua anaknya dalam misi spiritual menyelamatkan si bungsu dari kutukan, Jalan Pulang mencoba mencampurkan drama keluarga, trauma personal, dan mistik lokal. Tapi sejak awal, film ini seperti kehilangan arah.

Tiga Ratu Horor dalam Film “Jalan Pulang” Luna Maya, Shareefa Daanish, Taskya Namya

Narasi tersusun dari banyak fragmen yang tidak sepenuhnya menyatu. Flashback dan subplot dilempar masuk tanpa pengantar, seolah-olah penonton akan mengerti begitu saja. Padahal, dasar emosional film ini lemah. Karakter tidak berkembang, relasi antar tokoh minim, dan konflik keluarga yang semestinya jadi fondasi malah terasa seperti latar belakang tempelan.

Ambisinya terasa besar, tapi arahnya kabur. Film ingin menjadi spiritual, filosofis, dan psikologis sekaligus, namun semuanya hanya disentuh permukaan.

Shareefa Daanish: Pilar Tunggal dalam Bangunan Rapuh

Jika ada satu aspek yang layak dipuji tanpa catatan dalam Jalan Pulang, itu adalah penampilan Shareefa Daanish. Dalam dunia horor Indonesia modern, Daanish sudah dikenal sebagai aktris yang tak hanya bisa menghadirkan ketakutan, tapi juga kedalaman karakter. Di film ini, performanya kembali mencuri perhatian.

Dalam naskah yang minim kejelasan, ia mampu membangun intensitas melalui gestur, tatapan, dan intonasi. Ia adalah satu-satunya elemen yang terasa memiliki bobot nyata. Bahkan ketika alur cerita membingungkan dan motivasi karakternya samar, ia tetap berhasil membuat penonton terpaku.

Sayangnya, performa gemilangnya terasa sendirian. Luna Maya bermain cukup stabil, namun karakternya tertulis dengan satu nada emosi yang terus berulang: sedih. Tanpa lapisan, tanpa transisi. Sementara Taskya Namya diberikan porsi yang nyaris tidak signifikan, seperti cameo yang diperpanjang. Interaksi antar “tiga ratu” ini pun tidak dibangun kuat dalam cerita, hanya diletakkan bersebelahan dalam bingkai promosi.

Aspek Teknis yang Tak Mendukung Cerita

Secara visual, film ini tidak memberikan banyak hal untuk dikagumi. Color grading yang terlalu gelap dan kusam justru mengganggu keterbacaan adegan. Pencahayaan buruk membuat beberapa momen penting sulit dinikmati secara visual. Jika ingin membangun atmosfer, hasilnya justru menciptakan kebingungan.

Framing dan pengambilan gambar tampak tidak terkonsep secara matang. Banyak adegan yang kehilangan keseimbangan ruang. Gerakan kamera pun kerap tidak stabil, dan editing-nya gagal menjaga ritme narasi. Transisi antara adegan—terutama yang menyangkut waktu dan ruang—sering kali terlalu mendadak, membuat film ini terkesan terputus-putus.

Film ini tampaknya percaya bahwa simbolisme cukup untuk membangun makna, padahal simbol tanpa konteks hanyalah ornamen kosong.

Jeropoint: Visi Besar, Eksekusi yang Terlalu Dini

Sebagai debut penyutradaraan, film ini menunjukkan bahwa Jeropoint punya imajinasi besar dalam menggabungkan dunia mistik dengan narasi personal. Namun, visi tersebut belum dibarengi keterampilan teknis dan penulisan naskah yang seimbang.

Jalan Pulang lebih terasa seperti serangkaian ide visual dan narasi yang belum selesai, dipaksakan menjadi satu film. Format horor psikologis berbasis budaya lokal adalah medan yang sangat menjanjikan, tapi juga sangat menuntut. Ini bukan sekadar soal visual mencekam, tapi bagaimana membangun ketegangan emosional yang konsisten—sesuatu yang masih jauh dari capaian film ini.

Kesimpulan:

Jalan Pulang ingin menjadi film horor yang cerdas, filosofis, dan berakar pada kearifan lokal. Tapi semua itu terhenti di niat. Film ini tidak gagal karena kekurangan bakat atau sumber daya, tapi karena terlalu percaya pada kemasan. Jero Point mungkin berhasil meramu cerita pendek yang viral, tapi layar lebar menuntut lebih dari sekadar atmosfir.

Mengandalkan gimmick tiga aktris ikonik horor tanpa kedalaman karakter dan narasi hanya akan menghasilkan tontonan yang hampa. Sebuah perjalanan pulang yang semestinya emosional dan spiritual, tapi justru tersesat di jalan sejak awal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *