Di dunia perfilman horor modern, ada dua jenis pembuat film: yang bermain aman dengan jumpscare murahan, dan yang nekat mencabik emosi penonton sampai sisa akal sehat ikut luntur. Danny dan Michael Philippou – sutradara kembar yang sukses dengan film sebelumnya “Talk To Me” – jelas berdiri di jalur kedua. Film terbaru mereka, “Bring Her Back”, bukan sekedar lanjutan reputasi. Ini adalah penyataan bahwa mereka tidak hanya ingin menakuti, tapi juga merusak secara emosional.
Kalau kalian berharap film horor yang menyenangkan dan penuh gimmick, sebaiknya stop di sini. Film “Bring Her Back” bukan soal setan yang muncul dari belakang lemari. Ini adalah perjalanan ke dalam lubang gelap bernama duka, trauma, dan keputusasaan – dengan darah dimana-mana sebagai bonus.

Ketika Cinta Ibu Menjadi Horor Paling Mengerikan
Aktris Sally Hawkins berperan sebagai Laura, seorang ibu yang kehilangan seorang anak dan kehilangan akal waras secara bersamaan. Dalam upaya menyatukan kembali apa yang telah hilang, dia melakukan ritual sesat dari video misterius di internet. Karena ya, apa sih yang bisa salah dari nonton konten kultus di YouTube atau semacamnya dan praktik langsung di ruang tamu? Hasilnya? Lebih buruk dari yang bisa dibayangkan.
Dua anak adopsi Laura, Andy dan Piper, terjebak dalam rumah yang bukan sekedar karakter ‘ibu berduka’. Dia potret ekstrem tentang bagaimana cinta bisa berubah menjadi kutukan. Dan Sally Hawkins, dengan akting mumpuninya dan ekspresi gila yang nyaris sakral, berhasil bikin penonton merasa takut dan kasihan secara bersamaan. Sebuah penampilan yang mengingatkan kita: kadang-kadang, cinta itu memang menyeramkan.

Slow Burn, But Make It Brutal
Film “Bring Her Back” mengadopsi gaya horor slow burn yang pelan tapi menyiksa. Awalnya tenang, tapi lama-lama kamu sadar bahwa rasa tidak nyaman mulai menumpuk seperti jerawat menjelang hari penting seperti pernikahan. Dan ketika ledakan kekerasan itu akhirnya datang, kalian mungkin ingin tutup mata – tapi tangan kalian terlalu sibuk memegang lengan kursi sambil meringis.
Gore dalam film ini bukan main-main. Darah sekaligus adegan sadis lainnya serta ekspresi ketakutan menghiasi layar lebar dengan estetika khas A24: elegan tapi bikin enek. Ini bukan tontonan buat yang baru makan ataupun yang sudah borong cemilan di bioskop, atau yang gampang jijik atau gampang pingsan melihat darah. Jangan heran kalau ada yang keluar bioskop lebih pucat dari tokoh-tokoh filmnya.
Tapi di balik horor fisik itu, terselip emosi yang lebih mematikan: kesepian, penyesalan, dan rasa bersalah. Inilah yang membuat film “Bring Her Back” tidak hanya menyeramkan, tapi juga menyayat . Dan di tengah semuanya, aktor muda seperti Jonah Wren Phillips, Billy Barratt dan Sora Wong berdiri tegak dengan performa yang mengesankan. Chemistry Andy dan Piper? Natural sekali. Kalian bisa lihat kasih sayang dan ketakutan mereka tumbuh bersamaan – seperti hubungan siblings goals versi mereka.

Kesimpulan: Horor Emosional yang Bukan Untuk Semua Orang, Tapi Layak Dicoba Sekali
Apakah film “Bring Her Back” adalah film yang bagus? Sangat. Apakah enjoyable? Tergantung. Kalau definisi kalian tentang ‘menikmati film’ adalah pengalaman sinematik yang menantang jiwa dan mental, maka film ini cocok untuk kalian. Tapi kalau kalian lebih suka horor yang mainstream seperti contoh teror boneka kerasukan setan, silakan cari alternatif lain.
Film ini bukan hanya soal setan dan sekte. Ini tentang luka yang tidak bisa disembuhkan, dan keputusasaan yang tidak bisa dilogika. Ending-nya sendiri tidak menyuguhkan jawaban yang pasti (sudah pakemnya kalau horor seperti ini), tapi lebih seperti tusukan halus ke hati – diam-diam mengendap, dan bikin kalian termenung dalam gelap.

Konklusinya, film “Bring Her Back” akan membekas. Mungkin bukan karena takutnya, tapi karena sedihnya. Karena rasa bersalahnya. Karena kegilaannya yang – anehnya – terasa sangat manusiawi. Saksikan di bioskop terdekat kalian, nonton sekarang sebelum menyesal tidak menontonnya di layar lebar.