“Ratu-Ratu Queens: The Series” dan Fenomena “Kabur Aja Dulu”

Generasi hari ini punya mantra sakti: “Kabur aja dulu, mikirin belakangan.” Kedengarannya keren, penuh keberanian, seolah hidup ini cuma soal tiket pesawat dan mimpi manis di negeri orang. Tapi Lucky Kuswandi lewat Ratu-Ratu Queens: The Series menelanjangi kalimat ajaib itu jadi satire getir: kabur memang gampang, tapi bertahan? Silakan coba dulu.

Serial Netflix ini berkisah tentang empat perempuan asal Indonesia yang “nekat” mengadu nasib di Amerika Serikat. Mereka bukan diplomat, bukan mahasiswa beasiswa Ivy League, melainkan imigran kelas dua yang menggantungkan nasib pada kerja kasar, mimpi rapuh, dan status ilegal. Lucky meramu drama ini dengan kecerdasan: ia tak memberi kita melodrama murahan, tapi ironi yang manis sekaligus menampar.

Party, Ratu Pel Mop

Mari mulai dengan Party (Nirina Zubir). Ia pergi ke Amerika dengan satu tujuan klise nan mulia: memperbaiki ekonomi keluarga. Harapannya sederhana: kerja keras, kirim uang, lalu pulang sebagai pahlawan. Realitanya? Jauh panggang dari api. Party hanya bisa jadi pelayan rumah makan dan pembersih apartemen. Supervisor? Jangan mimpi. Status imigran gelap menempel di dahinya, membuat semua ambisi mentok di level paling bawah. Alih-alih naik kasta, ia jadi ratu pel mop—simbol betapa kerasnya realitas yang sering ditutupi brosur “kerja ke luar negeri”.

Biyah, Queen of Hustle

Kemudian ada Biyah (Asri Welas), yang berpegang teguh pada jargon “freedom” ala brosur Amerika. Hidupnya sepenuhnya mode bertahan: dari pengamen jalanan, maskot turis untuk foto bareng, sampai aksi kriminal kecil-kecilan demi bisa makan hari itu juga. Rumah? Jangan harap. Biyah tidur di sebuah van, yang ia anggap sebagai sahabat sekaligus rumah berjalan.

American Dream? Tentu saja ada—dalam bentuk jok mobil yang jadi ranjang tiap malam, dompet bolong, dan harapan yang makin tipis setiap harinya. Biyah adalah satire hidup: kebebasan ala Amerika ternyata tidak lebih mewah dari kebebasan parkir di tepi jalan, lalu berdoa agar van-nya tidak diderek polisi.

Queens Lainnya: Ance dan Chinta

Karakter Ance dan Chinta (Tika Panggabean dan Happy Salma) melengkapi potret diaspora perempuan yang jauh dari glamor. Mereka hadir bukan sekadar pemanis, tapi perpanjangan tangan narasi besar: bahwa hidup di luar negeri bukan jaminan naik kelas. Mereka juga bagian dari suara minoritas yang sering terpinggirkan, bahkan di kalangan sesama perantau.

Kabur Aja Dulu: Mantra Naif Generasi Muda

Di titik inilah kecerdasan Lucky Kuswandi bekerja. Ia menguliti fenomena “kabur aja dulu”, yang populer di kalangan anak muda Indonesia. Gagasan bahwa pergi ke luar negeri otomatis memperbaiki nasib ditelanjangi habis-habisan. Lewat visual cantik—gedung-gedung New York yang menjulang, langit senja yang indah—Lucky menyelipkan ironi. Di balik postcard mewah itu, ada air mata, ada kelelahan, ada rasa terasing.

Lucky tidak menertawakan para tokohnya. Ia menaruh empati pada Party, Biyah, Ance, dan Chinta. Tapi ia menertawakan mentalitas kita: obsesi pada kabur, pada mimpi instan, pada ilusi bahwa hidup di luar negeri selalu lebih baik. Serial ini bukan melodrama sedih, melainkan komedi getir yang menusuk lebih dalam daripada air mata tumpah-tumpah.

Kritik Sosial dalam Balutan Glam

Yang membuat Ratu-Ratu Queens: The Series kuat adalah kontrasnya: kemasan glamor, isi getir. Kamera Lucky menjilat gedung-gedung New York, membuatnya tampak megah dan cantik, tapi justru jadi latar penderitaan. Seperti iklan parfum mahal dengan aroma keringat buruh migran.

Inilah satire kelas atas: cerita pahit disampaikan lewat bungkus manis. Kita menonton sambil tersenyum, lalu sadar—hei, bukankah banyak saudara, teman, bahkan tetangga yang jadi Party atau Biyah di dunia nyata?

Sindiran untuk Kita Semua

Serial ini adalah sindiran, baik untuk pemerintah yang gagal memberi warga kesempatan hidup layak di negeri sendiri, maupun untuk generasi muda yang gemar memuja kabur sebagai solusi segala masalah. “Kabur aja dulu”? Ya silakan, tapi siap-siap kalau ujungnya rata-rata jadi underdog di negeri orang.

Lucky Kuswandi berhasil menghadirkan drama yang bukan hanya hiburan, tapi refleksi sosial. Ia memaksa kita menatap realita pahit dengan cara yang estetis dan ironis. Dan di situlah kecerdikannya: membuat kita tertawa getir sambil merasa ditampar.

Penutup: Ratu atau Rata-rata?

Pada akhirnya, Ratu-Ratu Queens: The Series bukan kisah tentang kemenangan besar. Ini adalah cerita tentang kompromi, tentang bertahan hidup, tentang perempuan-perempuan yang jadi simbol ambisi sekaligus ironi. Mereka bukan ratu di istana, tapi ratu dalam ruang sempit, di negeri yang tak pernah benar-benar menerima mereka.

Dan buat kita, penonton yang masih doyan mantra “kabur aja dulu”, serial ini adalah peringatan: kabur memang gampang. Tapi jangan salahkan siapa-siapa kalau ujungnya hanya jadi rata-rata—rata-rata pekerja kasar, rata-rata terpinggirkan, rata-rata Queens.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *