Dunia kontes kecantikan tanah air kembali riuh. Miss Universe Indonesia 2025 tidak hanya menghadirkan wajah-wajah muda dengan aura baru, tetapi juga mencatatkan langkah tak terduga: Kirana Larasati, aktris yang telah memerankan sejumlah film, diantaranya Perempuan Punya Cerita, Slank Gak Ada Matinya, Rumput Tetangga, dan 48 Jam Untuk Indah, berusia 37 tahun, resmi masuk Top 16 finalis.
Kehadirannya langsung menjadi sorotan. Bukan hanya karena latar belakangnya yang mapan, melainkan juga karena keberaniannya menabrak norma usia yang selama ini membatasi eksistensi perempuan di panggung kecantikan.
Kirana: Keteguhan Melawan Stereotip
Dalam pernyataannya, Kirana menegaskan tiga modal utama: penampilan yang representatif, pengetahuan luas, dan persistensi. Ia menyebut dirinya terbiasa membaca, berpikiran terbuka, dan tidak mudah menyerah. Pernyataan ini tidak sekadar retorika—ia adalah refleksi atas perjalanan panjang seorang perempuan yang sudah kenyang pengalaman, baik di panggung hiburan maupun politik.
Di mata publik, Kirana menawarkan narasi berbeda. Jika biasanya Miss Universe diasosiasikan dengan sosok muda yang masih dianggap “penuh potensi”, kehadirannya justru mengingatkan bahwa kedewasaan juga bagian dari daya saing. Dengan percaya diri, ia menegaskan
“Saya pasti akan menjadi yang tertua di antara Miss Universe lain dari negara lain. Saya akan merasa sangat bangga sekali. Karena, sayalah yang berarti mempunyai pengalaman lebih banyak.”
Sebuah klaim yang berani—dan mungkin juga provokatif—bagi panggung yang sering kali mengagungkan “youthful beauty” sebagai standar dominan.
Soraya Rasyid: Dari Perbincangan Hangat ke Kegagalan di Garis Finish
Namun di balik sorotan terhadap Kirana, ada nama lain yang justru menimbulkan diskusi berbeda: Soraya Rasyid. Presenter dan bintang film Preman Pensiun yang sejak awal audisi kerap menjadi bahan perbincangan netizen itu ternyata gagal melangkah ke Top 16.
Absennya Soraya dalam daftar finalis mengejutkan sebagian publik. Mengingat popularitasnya di media sosial serta daya tarik personal yang dianggap kuat, banyak yang menduga ia akan mulus masuk ke babak berikutnya. Kenyataannya, keputusan juri justru menempatkannya di luar garis aman.
Fenomena ini membuka pertanyaan kritis: apakah Miss Universe Indonesia kini benar-benar menilai di luar faktor popularitas, atau justru memperlihatkan bahwa ketenaran digital tidak otomatis berbanding lurus dengan kualitas kompetisi?
Miss Universe Indonesia 2025: Antara Janji Transparansi dan Paradoks Realitas
Dengan diumumkannya Top 16 oleh Zetrix, penyelenggara nasional yang baru memegang lisensi, ajang ini menjanjikan transparansi dan objektivitas. Namun, seperti kontes kecantikan pada umumnya, kontroversi seolah tak pernah bisa dilepaskan.
Di satu sisi, masuknya Kirana Larasati menandai tonggak baru: perempuan matang tidak lagi dipinggirkan oleh standar umur. Di sisi lain, keluarnya Soraya Rasyid—yang sempat digadang-gadang sebagai kuda hitam—menunjukkan betapa tipisnya garis antara ekspektasi publik dan keputusan juri.
Pertanyaan kritis pun mengemuka:
Apakah ini tanda bahwa Miss Universe Indonesia benar-benar membuka ruang seleksi yang lebih progresif?
Ataukah masih ada dinamika “politik panggung” yang tidak kasat mata dalam menentukan siapa yang dianggap layak melaju?
Kesimpulan: Simbol Perubahan atau Sekadar Sensasi Baru?
Kirana Larasati membawa wajah baru dalam perdebatan lama tentang standar kecantikan: usia tidak lagi menjadi penghalang. Sementara kegagalan Soraya Rasyid menjadi cermin bahwa sorotan publik bukan jaminan tiket menuju panggung final.
Di antara dua nama ini, Miss Universe Indonesia 2025 berdiri di persimpangan: apakah ia benar-benar meneguhkan diri sebagai ajang yang transparan, inklusif, dan progresif—atau masih menjadi arena di mana citra, popularitas, dan narasi publik saling bertarung menentukan pemenang?

