Indonesia itu negara yang lucu. Warganetnya bisa ngamuk berjamaah, boikot rame-rame, lalu… diam-diam nonton juga. Bahkan nonton sampai habis, kasih bintang lima, dan bilang, “Ternyata nggak sejelek itu ya.” Ajaib, bukan?
Dan ya, itulah yang terjadi dengan film A Business Proposal versi Indonesia. Sebuah remake dari drama Korea yang dulunya dielu-elukan, tapi versi lokalnya langsung disumpahi netizen sejak trailernya muncul, bahkan sebelum filmnya tayang.
Alasannya? Satu nama, lima huruf: Abidzar. Sang pemeran utama—yang dengan polos dan jujurnya bilang bahwa dia “nggak nonton versi Korea”-nya karena katanya mau “menggali karakter dari dalam diri”. Bukannya dihargai sebagai aktor yang otentik dan niat, dia malah dikutuk dari berbagai penjuru internet. Salah dikit, cancel. Salah banyak, trending.
Dari Dosa Jadi Daya Tarik
Film ini sempat tayang di bioskop, dan seperti yang bisa ditebak: sepi. Lebih sepi dari hatimu pas ditinggal gebetan. Bahkan kicauan burung di atap XXI lebih ramai daripada tepuk tangan penonton. Tapi semua berubah saat film ini tayang di Netflix. Dalam hitungan hari, boom—peringkat 1 di Netflix Indonesia.
Loh? Kok bisa?
Ternyata orang-orang yang dulu teriak boikot itu tetap penasaran. Mereka klik juga. Mungkin sambil misuh-misuh di awal: “Yaudah lah gue tonton, biar bisa ngehujat lebih akurat.” Tapi masalahnya, makin ditonton, makin… kok lucu juga ya? Makin cringe-able, makin adiktif. Seperti hubungan toxic yang bikin pusing tapi susah lepas.
Dan yang lebih lucu: nggak sedikit dari mereka yang nonton diam-diam. Iya, silent viewer. Biar nggak malu ketahuan menikmati sesuatu yang tadinya mereka hujat habis-habisan. Fenomena ini seharusnya punya nama sendiri. Mungkin bisa disebut “guilty pleasure nasional.”

Ariel Tatum: Ratu Elegan di Tengah Kekacauan
Kalau ada satu tokoh yang selamat secara moral dan estetik dari kerusuhan ini, itu Ariel Tatum. Ia tetap tampil kalem, rapi, manis, bahkan saat media sosial penuh amarah. Netizen boleh panas, dia tetap sejuk. Bahkan di tengah badai boikot, dia tetap sempat photoshoot dan unggah story ngopi di rooftop.
Kombinasi kematangan, keanggunan, dan keahlian PR yang membuat Ariel seperti diplomat sinema yang tak tersentuh netizen. Bahkan ketika rekan mainnya dihujat, dia tetap disayang. Kalau ini catur, Ariel Tatum adalah menteri yang jalan bebas ke segala arah, sementara Abidzar adalah pion yang disuruh maju tanpa briefing.
Pelajaran Moral: Boikot Itu Sering Gagal
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Bahwa boikot di internet itu seringkali cuma ritual bulanan. Nggak ada follow-through. Netizen marah, rame-rame unfollow, terus minggu depan nonton juga.
Dan dalam konteks A Business Proposal, boikot justru jadi promosi. Semakin dibenci, semakin dilihat. Semakin dihujat, semakin dicari. Karena, seperti mantan yang dibilang “brengsek” tapi masih dicek Instagram-nya jam 2 pagi, kita ini memang bangsa yang suka penasaran.
Netflix pun jadi tempat pengakuan dosa kolektif. Tempat orang-orang menebus rasa malu karena “eh ternyata filmnya lucu juga, ya.”
Jadi, Salah Siapa?
Apakah ini salah tim marketing? Salah Abidzar yang jujur? Salah netizen yang reaktif? Atau salah algoritma Netflix yang terlalu pintar menyodorkan film yang “katanya jelek” pas kita lagi gabut?
Mungkin semuanya salah. Tapi yang pasti: A Business Proposal versi Indonesia sukses bukan karena kualitas cerita atau akting yang jenius. Ia sukses karena rasa penasaran netizen yang lebih kuat dari logika. Karena nafsu nonton itu, kadang, tidak perlu alasan.Dan sekarang, film ini duduk manis di posisi puncak Netflix. Dari yang tadinya dibilang “film gagal”, jadi tontonan paling laris. Netizen? Masih nyinyir, tapi nonton juga.
Karena di negara ini, boikot bukanlah akhir, tapi awal dari viral.