Kita semua mengenal Park Bo-gum sebagai sosok yang nyaris seperti lukisan hidup: sopan, lembut, senyumannya bisa menenangkan krisis emosional dan membuat ibu-ibu ingin menjodohkan anaknya. Tapi dalam Good Boy, semua itu ia singkirkan. Ia datang bukan untuk membacakan puisi atau mengantar bunga, melainkan memukul preman dengan tangan kosong—dan ironisnya, membawa harapan baru lewat tinju.
Drama terbaru JTBC ini, yang tayang perdana pada 31 Mei 2025 (di Indonesia akan tayang melalui Prime Video), bukan hanya tontonan aksi biasa. Ia adalah satir sosial, kritik halus terhadap sistem olahraga dan penegakan hukum Korea Selatan, yang dibalut dalam genre aksi-komedi penuh gaya. Premisnya sendiri terdengar seperti hasil rapat naskah gila: negara merekrut para mantan atlet peraih medali Olimpiade untuk membentuk satuan tugas kepolisian khusus, bernama Olympic Avengers. Ya, para pahlawan olahraga yang dulu dielu-elukan di podium, kini harus menyelamatkan negara dari kejahatan dengan cara yang tak kalah keras dari pelatnas.
Park Bo-gum memerankan Yoon Dong-joo, mantan petinju peraih medali emas yang pensiun dini karena cedera, dan hidupnya tiba-tiba stagnan. Tidak ada program pensiun yang layak, tidak ada pekerjaan yang stabil, dan lebih parah: tidak ada yang peduli. Di situlah Good Boy mulai berbicara dengan lebih keras daripada adegan laganya—tentang bagaimana sistem melupakan pahlawan begitu mereka turun dari panggung.

Dong-joo adalah wajah dari luka itu. Ia tidak datang sebagai penegak hukum suci, tapi sebagai manusia penuh trauma yang mencoba bertahan hidup dalam sistem yang menghancurkannya. Ia memukul bukan karena hobi, tapi karena itulah satu-satunya hal yang ia tahu bisa menyelesaikan sesuatu.
Timnya terdiri dari ragam karakter menarik:
- Ji Han-na (Kim So-hyun), mantan atlet menembak dengan ketenangan nyaris psikopat
- Park Jin-woo (Lee Sang-yi), eks atlet anggar flamboyan dengan gaya tempur teatrikal
- Baek Seung-tae (Heo Sung-tae), pegulat veteran dengan masa lalu kelam
- Kang Ha-joon (Tae Won-seok), pelempar cakram yang kini melempar pelaku ke dinding
Meski diwarnai adegan laga dan humor absurd, Good Boy tidak melupakan hatinya. Ia menyuguhkan dialog dan situasi yang menyentil: dari sindiran terhadap minimnya perlindungan pasca-karier atlet, hingga pertanyaan filosofis seperti—apakah kekerasan yang dilegalkan negara tetap bisa disebut keadilan?
Dan untuk melihat transformasi Park Bo-gum dalam peran ini, kita perlu kembali sejenak ke When Life Gives You Tangerines, drama sebelumnya yang menempatkannya di ujung spektrum karakter lain.
Dalam Tangerines, Bo-gum memerankan Yang Gwan-sik, pria pendiam dan baik hati dari Pulau Jeju yang mencintai Ae-sun (IU) sejak kecil. Ia bukan pria yang ekspresif, tapi cintanya terlihat dari tindakan-tindakan kecil: memberi ikan, membantu kebun, menunggu dalam diam. Gwan-sik adalah cinta dalam versi paling tulus dan paling menyakitkan—cinta yang tidak pernah meminta balasan, hanya ingin hadir.
Perbandingan ini luar biasa kontras. Gwan-sik dan Dong-joo sama-sama baik, sama-sama tulus. Tapi respons mereka terhadap dunia yang melukai mereka sangat berbeda. Gwan-sik memilih diam, Dong-joo memilih bertarung. Gwan-sik menanggung segalanya sendirian, Dong Joo memutuskan sistem juga harus ikut merasakannya.
Dan di sinilah Park Bo-gum menunjukkan level kedewasaan baru dalam kariernya sebagai aktor. Ia tidak lagi memilih peran yang nyaman dan disukai semua orang. Ia memilih karakter yang kompleks, tidak selalu simpatik, tapi jujur. Dong-joo adalah anak baik yang tidak lagi percaya pada kelembutan. Ia telah tumbuh di dunia yang keras, dan akhirnya menjadi keras agar bisa tetap hidup.
Drama Good Boy juga memainkan ironi dalam judulnya. Apakah Dong-joo benar-benar “anak baik”? Atau apakah label itu hanya warisan narasi masyarakat terhadap atlet yang dianggap pahlawan, padahal tidak pernah diberi ruang untuk marah, kecewa, dan berontak?
Kita bisa menertawakan kelucuan ide “atlet jadi polisi”, tapi di balik itu, ada rasa getir. Drama ini tahu betul caranya memancing tawa sambil melempar kritik, menghibur sambil menyadarkan. Ia menjebak kita dalam aksi-aksi menegangkan, lalu menyodorkan pertanyaan sosial tanpa kita sadari.
Menariknya, Park Bo-gum bukan satu-satunya alasan drama ini patut ditonton, tapi dia adalah pusat gravitasi emosionalnya. Ia membawa ketegangan batin, tubuh penuh luka, dan mata yang berbicara lebih banyak dari naskah. Kita bisa melihat bagaimana ia memukul dengan marah, tapi juga dengan sedih. Ia bukan robot penegak hukum, tapi manusia yang sedang memulihkan harga dirinya lewat pekerjaan yang membingungkan moral.
Maka dari itu, Good Boy bukan sekadar drama aksi. Ia adalah refleksi atas dunia yang menuntut terlalu banyak dari orang baik, lalu meninggalkan mereka begitu saja. Ia adalah pelajaran tentang bagaimana kekerasan bisa lahir dari kebaikan yang terus-menerus disalahgunakan.
Dan mungkin, itu juga pesan besar dari kombinasi Gwan-sik dan Dong-joo. Di dunia yang adil, Gwan-sik bisa tumbuh menjadi pria tenang yang terus memberi cinta. Tapi di dunia yang penuh penolakan, Gwan-sik bisa jadi Dong-joo—anak baik yang akhirnya belajar bahwa kadang kebaikan harus melawan.