Netflix, tempat kita biasa mencari pelarian dari dunia nyata yang makin absurd, baru saja mengumumkan sesuatu yang… ya, menarik kalau kamu pecinta hal-hal yang memicu migrain. Film “A Business Proposal” versi Indonesia, yang sempat tayang sunyi di bioskop pada Februari 2025, akhirnya masuk katalog Netflix pada 13 Juni 2025.
Tapi netizen Indonesia? Responnya lebih mirip reaksi saat disuruh ngulang tahun ajaran karena dosen tidak membaca skripsi: frustrasi campur geli.
Sebuah Adaptasi Tanpa Proposal yang Matang
Film ini dibintangi Abidzar Al-Ghifari dan Ariel Tatum, dua nama besar yang di atas kertas seharusnya menjanjikan. Sayangnya, bukan chemistry yang ditawarkan, melainkan polemik.
Semuanya bermula saat Abidzar, dalam konferensi pers yang seharusnya mempromosikan film, malah mengakui hanya menonton satu episode versi Korea sebelum memutuskan: “Cukup. Saya ingin membentuk karakter saya sendiri.”Itu seperti chef yang menolak mencicipi rendang sebelum memasaknya karena merasa “ingin menafsirkan ulang.” Boleh, sih. Tapi jangan kaget kalau dagingnya malah jadi bubur.
Tak lupa, ia menyebut penonton drama Korea sebagai “fanatik”. Sebuah kalimat yang langsung membakar jembatan antara film ini dan pasar utamanya.

Dari Layar Lebar ke Layar Kecil—Tapi Antusias Tetap Kecil
Ketika rilis di bioskop, film ini hanya ditonton sekitar 6.000 orang. Ya, 6.000. Itu pun kalau kita hitung petugas kebersihan, wartawan, dan teman-teman serta keluarga Abidzar. Maka tidak heran bila Netflix memutuskan untuk “memberi kesempatan kedua”. Tapi hasilnya? Posting-an Netflix tentang film ini malah jadi tempat pelampiasan sindiran publik.
Komentar Netizen: Antara Sindiran, Penyesalan, dan Pengalihan
Begitu Netflix mengumumkan tanggal tayang A Business Proposal, kolom komentar langsung penuh… tapi bukan dengan excitement. Melainkan euforia untuk tontonan lain:
“Wah, aku kira ini pengumuman Squid Game Season 3. Kirain mimpi indah, ternyata mimpi buruk…“
“Ternyata bukan Squid Game, tapi Sakit Game. Sakit hati ngelihat ini ditayangin lagi.“
“Akhirnya tayang juga yang ditunggu-tunggu! Eh, maksudku Squid Game, bukan ini.“
Sementara itu, komentar yang benar-benar membahas filmnya, mayoritas masih menggugat keputusan produksi:
“Kenapa Netflix malah bantu distribusi film gagal kayak gini?“
“Gagal di bioskop, sekarang dipaksa masuk ke rumah kita?“
“Lagi-lagi industri film mikir nama besar cukup tanpa kualitas.“
Namun ada juga segelintir netizen yang menyambut positif, dengan nada setengah berharap, setengah memelas:
“Mudah-mudahan lebih enak ditonton di rumah sambil skip bagian cringe-nya.”“Mungkin di Netflix kita bisa nonton sambil nyalain subtitle dari versi Korea.”
Permintaan Maaf & Klarifikasi: Terlambat dan Terlalu Formal
Falcon Pictures sempat merilis permintaan maaf, menjelaskan bahwa komentar Abidzar bukan bermaksud merendahkan, tapi bagian dari pendekatan akting. Tapi netizen bukan aktor figuran. Mereka punya ingatan, dan kadang dendam yang lebih kuat dari sinetron Anak Band.
Abidzar pun sempat mengunggah permintaan maaf di Instagram. Tapi seperti banyak aktor muda lainnya, ia terdengar lebih menyesal karena dihujat ketimbang karena berkata salah.
Pelajaran: Adaptasi Bukan Fotokopi, Tapi Juga Bukan Coretan Asal
Remake seharusnya jadi bentuk penghormatan. Tapi film ini malah terasa seperti parodi tanpa niat lucu. Ia mengambil kerangka cerita Korea dan memasukkan dialog Indonesia yang terdengar seperti naskah sinetron jam 10 pagi: canggung, teatrikal, dan terlalu yakin akan daya tarik sendiri.
Yang menyedihkan: “A Business Proposal” punya potensi. Tapi diperlakukan seperti proyek tugas akhir yang penting cepat dikumpul, bukan dikerjakan dengan niat dan empati terhadap penggemar asli.
Kesimpulan: Netflix, Kenapa Tidak Squid Game Duluan?
Tayangnya film ini di Netflix tidak hanya membuka luka lama, tapi juga memperlihatkan betapa publik Indonesia makin cerdas memilah mana tontonan yang layak dan mana yang hanya menjual nama besar.
Dan ketika antusiasme lebih banyak diarahkan ke Squid Game Season 3 (yang akan tayang 27 Juni 2025), kita jadi sadar satu hal:
Kadang yang paling ditunggu bukan film baru, tapi kesempatan untuk tidak menonton film yang salah. Setuju?