“Gak Nyangka”: Ketika Film Kehilangan Arah, Nalar, dan Tujuan

Judul ‘Gak Nyangka..!!‘ seolah ingin menjadi disclaimer dini atas apa yang akan terjadi selama 90 menit ke depan. Namun, yang benar-benar mengejutkan bukanlah alur ceritanya, melainkan betapa film ini berhasil memuat segala bentuk kekacauan dalam satu kemasan hiburan yang menggugurkan akal sehat. Ini bukan sekadar film gagal, melainkan sebuah pertunjukan tentang bagaimana sebuah ide potensial bisa jatuh ke jurang karena pendekatan serampangan dan mentalitas produksi yang malas.

Film ini bermula dari kisah sekelompok mahasiswa abadi yang dikejar waktu menyelesaikan skripsi. Dalam waktu singkat, mereka dituntut menghasilkan riset bioteknologi dari tanaman tebu. Konflik bermunculan dari berbagai arah: mulai dari pembelian tanah riset yang ternyata bermasalah, keterlibatan mafia limbah, hingga intrik antara para tokoh yang tampil seperti pion dalam permainan yang tak pernah benar-benar jelas aturannya. Alih-alih membangun ketegangan atau struktur naratif yang rapi, film ini memilih untuk menjejalkan semua konflik dalam satu garis lurus tanpa jeda berpikir, tanpa ruang refleksi.

Penyusunan alur cenderung acak dan tidak terarah. Pergantian adegan berlangsung cepat namun tanpa koneksi emosional, seolah-olah penonton diharapkan mengikuti plot hanya karena urutan waktu, bukan karena logika peristiwa. Lompatan motivasi antar karakter sangat lemah. Para tokoh tidak mengalami perkembangan psikologis yang berarti, dan sebagian besar hanya hadir sebagai perpanjangan naskah, bukan sebagai entitas hidup dalam dunia film.

Humor menjadi elemen yang paling banyak diandalkan, namun justru menjadi titik lemah utama. Banyak lelucon yang dipaksakan, mengandalkan stereotype, dan bergantung pada gimmick aksen palsu (seperti logat Jawa dan Batak) yang tidak hanya melelahkan, tapi juga potensial menyinggung. Beberapa punchline terasa seperti materi stand-up lawas yang dipaksakan ke dalam adegan tanpa memperhatikan konteks dramatis. Ketika humor tidak lagi cerdas dan sensitif, yang tersisa hanyalah keriuhan kosong.

Penggunaan kalimat-kalimat seperti “kita manusia bukan nabi boy” atau “bapak-bapak ibu-ibu semua yang ada di sini” tampaknya dimaksudkan untuk viral, namun kehilangan kedalaman. Ini menunjukkan kecenderungan produksi film ini untuk lebih fokus pada potensi pasar digital dibanding nilai artistik. Film ini terlihat lebih sibuk menciptakan kutipan meme-able dibanding menciptakan makna.

Salah satu isu yang patut dipertanyakan secara serius adalah bagaimana film ini secara eksplisit menyisipkan unsur pencitraan personal. Nama Executive Producer ditampilkan dan disebut berulang kali dalam konteks narasi yang tidak relevan. Bahkan di bagian akhir, promosi terhadap tokoh tersebut tampil seperti iklan terselubung yang tidak lagi subtil. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai batas antara karya seni dan alat propaganda. Ketika film kehilangan netralitas dan menjadi wahana personal branding, integritas sinematiknya otomatis runtuh.

Dari sisi teknis, film ini juga tidak menawarkan sesuatu yang layak dicatat. Tata kamera dan sinematografi berjalan di titik aman—datar dan fungsional. Tata suara tidak memberikan atmosfer apapun. Scoring hanya menjadi tempelan latar yang tak mampu memperkuat emosi. Editing kasar dan terburu-buru, menunjukkan minimnya perencanaan pasca-produksi yang matang.

Sayangnya, kehadiran aktor-aktor kawakan seperti Cut Mini dan Prisia Nasution pun tidak mampu menyelamatkan film. Talenta mereka terperangkap dalam naskah yang terlalu lemah dan arah penyutradaraan yang tidak jelas. Mereka sekadar menjadi ‘juru penyeimbang’ kualitas, namun tanpa ruang bernapas untuk benar-benar bersinar.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah semangat para komika yang mengisi jajaran karakter. Namun lagi-lagi, tanpa naskah yang kuat dan pengarahan yang tajam, kehadiran mereka hanya memperpanjang daftar penampilan yang berakhir sebagai karikatur, bukan karakter.

Secara keseluruhan, ‘Gak Nyangka..!!‘ adalah cerminan dari bagaimana film bisa terjebak dalam jebakan ambisi dangkal: ingin lucu, ingin relevan, ingin cepat selesai, namun tidak mau berproses dengan serius. Film ini tidak menawarkan pengalaman sinematik, tidak juga memiliki misi naratif yang jelas. Ia sekadar hadir—ribut, gaduh, dan berlalu—tanpa jejak apa pun yang patut dikenang.

Dalam iklim industri film yang sedang berkembang menuju kualitas dan keberanian eksplorasi cerita, karya seperti ini menjadi catatan penting tentang apa yang sebaiknya tidak diulang. Ketika film hanya menjadi kumpulan sketsa yang dibungkus dalam kemasan produksi besar, maka yang tercipta bukanlah seni, melainkan noise yang melupakan esensi.

Gak Nyangka..!!‘ pada akhirnya bukan hanya gagal sebagai film, tapi juga gagal sebagai bentuk komunikasi. Dan dalam dunia sinema, kegagalan terbesar bukanlah ketika film tidak disukai, tetapi ketika ia tidak punya alasan untuk ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *