Review Film “Jurassic World: Rebirth” – Dinosaurus Masih Menggigit, Meski Cerita Mulai Jadi Fosil

Tujuh film. Ya, TUJUH. Kalau ada penghargaan untuk franchise paling keras kepala yang enggan pensiun, “Jurassic Park” dan segala turunannya pantas dapat trofi dan kursi empuk di museum sinema modern. Tapi anehnya, di tengah kejenuhan terhadap Intellectual Property (IP) lama yang diperah terus-menerus, film “Jurassic World: Rebirth” justru hadir sebagai kejutan menyenangkan. Serius.

Disutradarai oleh Gareth Edwards (“Monsters”, “Godzilla”, “Rogue One: A Star Wars Story”“), yang jago bikin kekacauan berskala kolosal terasa personal, film “Jurassic World: Rebirth” mengambil latar 5 tahun setelah kejadian di film “Jurassic World: Dominion” . Kali ini, fokusnya ke Zora Bennett (Scarlett Johansson), anggota operasi khusus yang dikirim ke sebuah pulau yang disebut ‘tempat paling berbahaya di seluruh dunia’ – yang ternyata adalah fasilitas penelitian dinosaurus untuk Jurassic Park pertama yang terbengkalai. Di pulau itu, Zora bergabung dengan Dr. Henry Loomis (Jonathan Bailey) untuk mengambil sampel darah dari tiga dinosaurus terbesar dari habitat darat, udara, dan air. Tujuannya untuk menciptakan obat yang bisa menyelamatkan umat manusia. Masalah baru muncul, di pulau itu juga merupakan habitat dinosaurus mutan hasil rekayasa genetik yang gagal, dan mereka yang ada di sana harus bisa keluar dengan selamat.

Scarlett Johansson dan Jonathan Bailey di film “Jurassic World: Rebirth” (Sumber: Universal Pictures)

Wahana Nostalgia yang Tak Berniat Pensiun

Skenarionya ditulis oleh David Koepp, veteran penulis yang juga membantu menulis naskahnya di film “Jurassic Park” (1993) yang tampaknya sengaja direkrut Steven Spielberg (yang duduk sebagai Produser Eksekutif di film “Jurassic World: Rebirth”) untuk membawa kembali vibe klasik ala film originalnya. Hasilnya? Sebuah film yang tidak menawarkan cerita revolusioner, tapi mampu mengaduk nostalgia penonton sambil tetap bikin jantung deg-degan.

Dari sisi cerita, ya…ini memang bukan naskah yang akan membuat Christopher Nolan gelisah. Tapi dari sisi ketegangan, film “Jurassic World: Rebirth” cukup lihai membuat penonton menggigit bibir. Adegan kejar-kejaran (terutama adegan rafting), ruang laboratorium yang terbengkalai, hingga serangan dari Quetzalcoatlus yang cukup membuat bergidik ngeri. Semuanya dieksekusi dengan presisi yang pas.

Dan yang mengejutkan, tidak ada karakter yang terasa ‘sampah’. Bahkan anak kecil yang biasanya menjadi pemicu eye-roll justru di film “Jurassic World: Rebirth” berhasil membuat penonton peduli. Karakter Zora Bennett juga bukan sepenuhnya perempuan tangguh, namun dia masih memendam trauma masa lalu kehilangan kerabatnya. Scarlett Johansson membawakannya dengan emosi yang pas – kuat, tapi tidak bebal.

Salah satu adegan di fasilitas penelitian yang menegangkan di film “Jurassic World: Rebirth” (Sumber: Fangoria)

Dinosaurus Masih Jadi Bintang, Untungnya

Mari kita jujur – kita datang bukan untuk dramanya, tapi untuk dinosaurusnya. Dan “Jurassic World: Rebirth” tidak pelit. Mosasaurus yang menyerang di lautan lepas? Cek. T-Rex yang mengejar tanpa ampun? Cek. Sempat kecewa Velociraptor hanya tampil sekilas, namun kekecewaan itu hilang karena penggantinya adalah dinosaurus mutan bersayap hasil hibrida genetik dari Velociraptor sukses bikin tensi jadi makin naik. Efek visualnya pun juga sangat nyata. Gareth Edwards dan tim efek visual tampaknya tahu batas antara spektakel dan kelebihan CGI. Beberapa adegan bahkan tampak seperti lukisan bergerak – indah, tapi tetap bikin jantung mau copot.

Musiknya pun tidak sekadar recycle tema dari John Williams. Ada sentuhan baru yang memberi nuansa lebih kelam dan misterius, tapi tetap menggelitik memori fans lama. Penempatannya pun tidak berlebihan di trilogi “Jurassic World” sebelumnya, semuanya pas dan bikin air mata menetes karena teringat betapa dulu film original yang dirilis tahun 1993 silam begitu memorable.

Salah satu adegan di film “Jurassic World: Rebirth” yang cukup seru (Sumber: Universal Pictures)

Tapi Kenapa Plotnya Harus Melebar?

Sayangnya, seperti kebanyakan film blockbuster modern, film “Jurassic World: Rebirth” tidak bisa menahan diri untuk tidak melebarkan cerita ke segala arah. Penonton akhirnya bertanya-tanya: ini soal obat penyelamat umat manusia? Soal melarikan diri dari pulau dan bertahan hidup? Soal eksperimen genetik yang gagal? Atau sisi humanis dari karakter utama? Semua dijawab dengan, “Ya.” Tapi, terlalu banyak benang cerita yang bersaing membuat beberapa momen kehilangan bobot emosionalnya.

Untung saja Gareth Edwards paham cara mengemas kekacauan ini agar tetap terasa sebagai tontonan menyenangkan. Kalau mungkin di tangan sineas lain yang menggarap, bisa saja film ini jatuh jadi episode panjang dari Discovery Channel yang panik.

T-Rex harus wajib tampil (Sumber: IGN)

Kesimpulan: Jika Ingin Seru-seruan dan Nostalgia, Worth Untuk Ditonton

Absolutely, film “Jurassic World: Rebirth” bukan film paling cerdas tahun ini, tapi jelas salah satu yang paling ‘bioskopable’. Ini wahana Rollercoaster apalagi kalau menonton dengan format 4DX akan jauh lebih seru. Film yang tahu ekspektasi penonton, lalu memenuhinya dengan dosis nostalgia, ketegangan, dan – percaya atau tidak – akting yang solid. Apakah film ini perlu eksis? Belum tentu. Tapi apakah kita menyesal nonton? Tidak sama sekali.

Dan kalau ini adalah reboot terselubung dari trilogi baru, maka Hollywood boleh kita beri satu kali izin lagi untuk membangkitkan dinosaurus. Tapi satu kali saja ya. Jangan sampai tiba-tiba ada Jurassic World: Fast & Cretaceous benar-benar terjadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *