Akhirnya kita tiba juga di garis finish permainan sosial paling mematikan dan mendunia: “Squid Game 3”, penutup resmi dari serial menegangkan dan depresif ciptaan Hwang Dong-hyuk. Tiga season yang penuh darah, pengkhianatan, dan monolog eksistensial akhirnya ditutup dengan sebuah season yang…mengejutkan, tapi bukan karena jumlah korban yang bertumpuk, melainkan karena gelombang keluhan dari penonton yang katanya “kecewa”.
Sementara kritikus dunia bertepuk tangan – beberapa bahkan mungkin sambil berdiri – penonton awam di internet justru ramai-ramai memberikan ulasan negatif. Alasannya? Karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka kira mereka inginkan: permainan berdarah setiap 10 menit. Tapi, kalau memang mau tontonan seperti itu, “John Wick” sudah ada empat film, dan sedang menyiapkan yang kelima. Tunggulah.

Lee Jung-jae: Masih Trauma, Masih Waras (Hampir)
Seong Gi-hun (Lee Jung-jae) kembali sebagai protagonis utama yang kali ini tidak hanya berusaha menghentikan permainan, tapi juga harus berdamai dengan trauma yang kian menumpuk sejak season 1. Gi-hun dalam “Squid Game 3” adalah potret nyata seseorang yang rusak, tapi masih mencoba menyalakan lilin kecil di tengah ruang gelap penuh peluru dan janji-janji kemanusiaan.
Cerita di season 3 ini jauh lebih emosional dan introspektif. Ada banyak momen hening, tatapan kosong, dan percakapan dibalut adegan yang justru membuat kita menangis. Namun, ada juga yang mengganggu seperti semua pemeran tamu VIP yang cringe dengan dialog kaku layaknya seperti ujian Listening Comprehension. Ini antara casting-nya asal-asalan atau naskahnya yang terlalu kaku? Bisa jadi keduanya.

Episode 3: “Drakor” dalam Squid Game
Kalau harus menunjuk titik lemah di season ini (selain tamu VIP yang cringe), mungkin banyak yang sepakat itu terjadi di episode 3. Alurnya terasa lambat, hampir seperti sengaja disuruh kita ngopi dulu di tengah kerusuhan. Tapi tunggu dulu, karena justru episode itu membuat fondasi emosional penting yang jadi kunci ledakan cerita di episode-episode akhir.
Sang sutradara sekaligus showrunner Hwang Dong-hyuk menyisipkan elemen mengejutkan: bayi. Iya, bayi sungguhan. Dalam dunia penuh manipulasi dan kematian, hadirnya sosok bayi (ceritanya anak Jun-Hee (Jo Yu-ri) yang baru lahir) adalah pukulan psikologis tersendiri. Sebuah simbol kehidupan, harapan, dan mungkin warisan atau dramatis. Keputusan ini bukan tanpa resiko – penonton yang datang demi menyaksikan bunuh-bunuhan akan merasa ‘dikhianati’. Tapi bagi yang mengikuti logika naratif, ini justru langkah brilian.

Arah Cerita: Dari Permainan ke Penebusan
Serial Netflix “Squid Game 3” tidak terlalu menawarkan permainan sadis nan kreatif seperti dua season sebelumnya . Bahkan bisa dibilang, unsur “game” sudah mulai memudar, digantikan oleh perjuangan eksistensial dan moralitas. Ini bukan lagi tentang siapa yang bertahan hidup, tapi siapa yang mampu bertahan sebagai manusia
Mungkin ini yang membuat banyak penonton merasa “tertipu”. Mereka datang dengan ekspektasi rollercoaster berdarah, tapi pulang dengan renungan tentang kemiskinan struktural, politik kapitalisme, dan luka batin. Maaf, kalau kalian hanya cari hiburan instan, Netflix juga punya “Too Hot to Handle”.

Cate Blanchett: Selamat Datang di Versi Amerika?
Peringatan, ini mengandung spoiler. Dan di momen penutup yang membuat media sosial dan internet geger: Cate Blanchett muncul. Ya, Cate Blanchett, si ratu akting, muncul sebagai recruiter yang berdandan rapi seperti karakter Gong Yoo – lengkap dengan jas rapi dan senyum sinis. Ini bukan sekadar cameo. Ini adalah bom spekulasi yang dilempar Hwang Dong-hyuk ke penonton: Apakah ini tanda bahwa serial “Squid Game” akan dibuat versi Amerikanya?
Kalau iya, maka kita benar-benar hidup di dunia semesta sinematik kapitalis, dimana kemiskinan dan kekerasan bisa diproduksi ulang dalam berbagai bahasa dan budaya (walaupun rekrutnya tetap memainkan ddakji). Apakah kita siap melihat versi Hollywood dari penderitaan Korea Selatan? Entahlah. Tapi, kehadiran Cate Blanchett jelas bukan sembarangan.

Kesimpulan: Akhir yang Tidak Mudah Tapi Perlu
Serial Netflix “Squid Game 3” bukanlah akhir yang semua orang mau, tapi bisa jadi itu akhir yang cerita ini butuhkan. Penonton kecewa karena mereka menginginkan sajian sadis dan aksi cepat, tapi Hwang Dong-hyuk memberikan sesuatu yang lebih kompleks: harapan di tengah reruntuhan.
Season ini menolak menjadi fan service. Dia tidak tunduk pada algoritma. Dia memilih menyiksa penonton dengan emosi, bukan hanya dengan darah. Dan itu, kalau kita jujur, adalah keberanian yang layak dihargai.
Jadi, buat yang bilang serial “Squid Game 3” jelek, mungkin masalahnya bukan pada serial ya. Tapi pada ekspektasi kalian yang terbiasa dimanjakan tontonan penuh ledakan dan minim substansi. Kadang, peluru paling menyakitkan bukan yang ditembakkan, tapi yang ditahan.