Kalau kamu mengira Thunderbolts (New Avengers ) adalah sekumpulan pahlawan super yang lagi-lagi menyelamatkan dunia dengan aksi meledak-ledak, kamu salah. Film ini lebih mirip support group yang gagal: penuh trauma, masalah trust issue, dan karakter-karakter yang harusnya lebih sering ke psikolog ketimbang ikut misi pemerintah.
Marvel akhirnya menyentuh wilayah yang selama ini cuma disinggung sambil lalu: kesehatan mental. Bukan lewat pidato Captain America atau sesi meditasi Doctor Strange, tapi lewat sekelompok antihero—atau lebih tepatnya, bekas penjahat dan mantan pahlawan gagal—yang dibikin kerja kelompok padahal semua belum kelar urusan sama dirinya sendiri.
Ketika Superhero Punya Trauma (Dan Nggak Ditutupi Score Musik Heroik)
Yelena Belova, Bucky Barnes, John Walker, Taskmaster, hingga si wildcard, Sentry—semuanya bukan tipe karakter yang bisa lo ajak ngopi sambil bahas self-love. Mereka terlalu sibuk ngebendung rasa bersalah, kehilangan identitas, sampai trauma masa lalu yang belum pernah benar-benar sembuh.

Yelena misalnya. Sepeninggal Natasha Romanoff, dia bukan jadi Black Widow baru yang tangguh dan wise. Dia malah lebih mirip kakak kelas yang kelihatan kuat tapi ternyata belum bisa ngelupain luka keluarga. Alih-alih menguatkan orang lain, dia sibuk nyari validasi dari “ayah” setengah waras bernama Alexei Shostakov.
Lalu Bucky. Ah, Bucky. Manusia dengan mode default “guilt and brooding.” Masih belum bisa keluar dari bayang-bayang Winter Soldier. Kita bisa bilang dia kayak mantan tentara yang pulang perang tapi nggak pernah pulang dari medan tempur di kepalanya sendiri.
Thunderbolts: Proyek Pemerintah atau Terapi Kelompok Gagal?
Premis Thunderbolts sebenarnya agak sinis: pemerintah bikin tim dari orang-orang yang rusak buat ngerjain tugas-tugas kotor. Tapi alih-alih jadi suicide squad versi bersih-bersih, film ini malah jadi refleksi keras soal eksploitasi orang-orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri.
John Walker, misalnya. Eks Captain America KW yang dikucilkan setelah insiden publik berdarah. Di Thunderbolts, dia masih terus mencoba membuktikan dirinya “layak.” Tapi kalau kita lihat lebih dalam, dia bukan cari pembuktian—dia lagi mencoba menyangkal kenyataan bahwa dia sudah gagal jadi simbol.
Dan yang paling menarik tentu saja Sentry (Bob Reynolds)—karakter yang secara literal jadi representasi depresi. Alter egonya, Void, adalah semacam personifikasi sisi tergelap dari dirinya. Setiap kali Bob mencoba menyelamatkan dunia, sisi depresifnya selalu ikut muncul. Ini bukan cuma drama internal—ini penggambaran yang menyakitkan tentang bagaimana penyakit mental bisa menggerogoti identitas dan perasaan berharga seseorang.
MCU Mulai Serius Sama Isu Mental Health?
Untuk standar Marvel, ini langkah yang cukup berani. Selama ini, kesehatan mental paling banter digambarkan sebagai subplot emosional buat memperkuat motivasi karakter. Tapi di Thunderbolts, trauma adalah tema utama. Para karakter bukannya “berubah jadi lebih baik” lewat pertarungan, justru mereka ditampilkan sebagai manusia yang rapuh, salah arah, dan lelah.
Sutradara Jake Schreier kelihatan nggak mau bikin film ini jadi sekadar aksi-aksi bombastis. Dia bilang ini film tentang “emosi yang meledak-ledak dalam diam.” Mungkin itu alasan kenapa banyak adegan di film ini lebih banyak hening, atau penuh ekspresi kosong para karakternya yang kelihatan duduk sambil mikirin hidup.
Ada yang bilang ini versi The Breakfast Club tapi isinya ex-pahlawan dan pembunuh bayaran. Dan jujur, itu analogi yang cukup pas. Thunderbolts bukan film penyelamatan dunia. Ini lebih ke film penyelamatan diri sendiri. Sayangnya, nggak semua berhasil selamat.
Apakah Film Ini Terlalu Depresif?
Ya dan tidak. Di satu sisi, Thunderbolts adalah eksperimen segar dari Marvel yang biasanya main aman. Tapi sisi gelapnya mungkin terlalu gelap buat penonton yang mengira ini akan jadi Guardians of the Galaxy versi rusuh. Buat yang relate sama isu mental health, film ini bisa jadi tamparan lembut—atau justru mengingatkan betapa beratnya perjuangan itu.
Tapi yang jelas, Thunderbolts nunjukin satu hal penting: bahkan orang yang punya kekuatan super pun bisa punya luka yang nggak kelihatan. Bahkan orang yang kelihatannya kuat, bisa rapuh saat lampu sorot dimatikan. Dan nggak ada kostum atau serum yang bisa nyembuhin itu.
Kesimpulan: Semua Butuh Terapi, Termasuk Superhero
Jadi, kalau lo nonton Thunderbolts dan ngerasa agak gloomy, itu wajar. Ini bukan tontonan buat yang nyari pelarian, tapi lebih cocok buat lo yang lagi nyari cermin. Karena kadang, yang perlu kita taklukkan bukan musuh di luar sana, tapi yang ada di dalam kepala.
Dan kalau ada yang bilang superhero nggak butuh terapi? Kasih mereka tiket nonton Thunderbolts. Lalu bisikin pelan, “Bro, mereka butuh psikolog lebih dari lo.”