‘The Haunted Palace’: Ketika Hantu, Cinta Pertama, dan Birokrasi Joseon Disulap Jadi Mesin Rating SBS

Rating 9,8% untuk episode ke-7. Di tengah persaingan ketat dunia drama Korea, angka ini bukan cuma tinggi—ini semacam pernyataan. The Haunted Palace, miniseri fantasi-romantis dari SBS, sukses jadi drama dengan penonton terbanyak minggu ini. Tapi pertanyaannya bukan soal seberapa tinggi ratingnya, tapi: *kenapa drama sesederhana ini bisa sedahsyat itu?*

Jawabannya mungkin lebih kompleks dari yang terlihat di layar.

Naga di Era Joseon: Imajinasi Bebas atau Strategi Jualan Lama dengan Baju Baru?

Dibalut nuansa historikal era Joseon, The Haunted Palace mengangkat cerita tentang Yoon-gap (Sungjae BTOB), seorang pegawai pemerintah yang kerasukan… naga mitologi. Iya, naga. Bukan ular atau hantu biasa. Sebuah pilihan yang menarik tapi juga membuat kita bertanya: kenapa naga?

Naga dalam konteks mitologi Korea punya simbolisme kuat—kekuasaan, transendensi, dan kadang kekacauan. Tapi di sini, naga justru jadi pintu masuk menuju konflik cinta dan supranatural yang cenderung ringan. Rasanya seperti mencoba membungkus mitologi Timur dengan formula drama romcom barat. Tidak salah, hanya terlalu safe untuk sesuatu yang potensinya besar.

Yeo-ri (Bona WJSN), cucu dari seorang dukun terkenal, hadir sebagai elemen emosional. Meskipun memiliki kemampuan spiritual yang luar biasa, Yeo-ri menolak takdirnya sebagai seorang dukun dan memilih untuk menjalani kehidupan sebagai perajin kacamata. Chemistry mereka? Tentu ada. Tapi tetap terasa formulaik. Drama ini tampaknya lebih tertarik membuat penonton terhibur daripada menggali lebih dalam trauma, sejarah, atau mitologi yang dibawa karakternya.

The Haunted Palace (foto: Viu)

Rating Tinggi: Bukti Kualitas atau Cermin Selera Pasar?

9,8% adalah angka yang layak dirayakan. Tapi seiring sanjungan datang, muncul juga pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dicari penonton. Komentar netizen menyebut drama ini “nggak seserem yang dibayangin,” “romantisnya lucu,” dan “ceritanya cepat tapi ngena.”

Respons ini mengindikasikan bahwa The Haunted Palace sukses karena satu hal: kenyamanan. Drama ini tidak menantang. Ia memeluk penonton dengan genre campuran, sedikit horor, sedikit komedi, sedikit sejarah, sedikit cinta. Semua disajikan dalam dosis aman yang gampang dicerna.

Ini bukan sesuatu yang buruk, tapi menjadi refleksi tren industri. Ketika banyak drama ambisius gagal menyentuh hati karena terlalu rumit atau sok filosofis, The Haunted Palace memilih jadi comfort food di tengah menu hiburan yang semakin kompleks. Sayangnya, itu juga membuatnya terasa seperti “produk”, bukan karya.

Dramanya Menyenangkan, Tapi Kritisnya Perlu

Kalau ditonton tanpa ekspektasi tinggi, The Haunted Palace jelas menghibur. Tapi jika kita menempatkannya dalam konteks lebih luas—soal eksploitasi mitologi untuk dramatisasi murahan, atau bagaimana industri hiburan Korea makin lihai menjual nostalgia era Joseon tanpa mempertanyakan ulang sejarahnya—maka drama ini bisa dilihat sebagai bentuk konservatisme kreatif.

Alih-alih mendekonstruksi peran negara, kekuasaan, atau makna cinta di tengah spiritualitas dan represi zaman, drama ini malah memilih membuat naga jadi semacam gimmick.

The Haunted Palace Adalah Produk Pop, dan Itu Tidak Salah

Ya, drama ini bukan karya avant-garde yang akan mengubah lanskap K-drama. Tapi ia mengerti pasar, tahu kapan harus lucu, kapan harus romantis, dan kapan harus sedikit menakutkan. Dan kadang, itu saja sudah cukup untuk menang.

Tapi jika kita mau lebih kritis, pertanyaannya adalah: berapa lama kita akan terus puas dengan drama seperti ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *