Film “Jumbo”: Ketika Film Anak Dibaca sebagai Isyarat Horor dan Ancaman Akidah

Film animasi “Jumbo” produksi Visinema Studios tengah mencuri perhatian publik. Bukan hanya karena animasinya yang memikat atau karena ditonton lebih dari tiga juta penonton dalam waktu singkat, tapi karena munculnya kontroversi yang tidak terduga: apakah film “Jumbo” adalah film anak-anak yang terlalu dewasa? Atau bahkan-seperti kata beberapa netizen-berpotensi “merusak akidah anak”?

Ditengah hingar bingar film Lebaran yang biasa diisi oleh film komedi, drama keluarga ataupun horor, film “Jumbo” tampil sebagai anomali. Film ini mengangkat tema kehilangan, penerimaan diri, dan keberanian menghadapi masalah-tema yang kalau boleh jujur, lebih dalam dari sekedar tontonan siang hari saat makan ketupat.

Namun yang membuat sebagian orang tua risau bukan tema besar itu. Tapi karena kehadiran karakter arwah atau hantu bernama Meri yang menjadi sorotan. Meri adalah hantu baik hati yang membantu Don, sang tokoh utama, dalam menyiapkan pertunjukan bakat. Visualisasi arwah yang cukup “nyata” ditambah beberapa adegan jump scare ringan, membuat beberapa penonton dewasa angkat suara di media sosial. “Ini film anak atau horor?” Tulis seorang pengguna TikTok. Di Twitter (sekarang X), perdebatan makin panas. Sejumlah akun mengaitkannya dengan nilai-nilai keislaman dan mempertanyakan keputusan membiarkan anak-anak menonton film dengan representasi roh.

“Ini bisa merusak akidah anak-anak.” Kata seorang pengguna Instagram dengan ribuan pengikut. “Bayangkan mereka menganggap arwah itu teman baik.”

Geng Jumbo dan karakter hantu bernama Meri (foto: Visinema Studios)

Sementara itu, sejumlah akun parenting justru memuji film “Jumbo” sebagai medium refleksi keluarga. Bahwa film “Jumbo” ini bisa membuka ruang diskusi antara orang tua dan anak mengenai kehilangan, kematian dan harapan. “Justru ini kesempatan emas untuk edukasi anak dengan konteks yang aman dan visual yang relatable.” tulis akun Instagram @parentalk.id.

Kritik pedas dan pujian bertubi-tubi membuat film “Jumbo” viral bukan hanya kwalitas filmnya, tapi karena wacana yang menyertainya. Yang menarik Visinema sendiri tidak secara eksplisit menyasar anak-anak sebagai penonton utama. Sutradara Ryan Adriandhy menyebut film “Jumbo” ini sebagai “Cerita yang membangkitkan kembali keajaiban masa kecil”-sebuah nostalgia, bukan sekedar tontonan edukatif.

Pertanyannya: apakah setiap animasi harus steril dari konsep spiritual? Apakah kita, sebagai masyarakat, sudah terlalu terbiasa mengkotak-kotakkan tontonan tanpa ruang tafsir?

Jika kita menoleh ke film-film animasi dari luar negeri, seperti “Coco” dari Disney Pixar yang mengangkat tema Dia de los Muertos dan dunia arwah, “Hotel Transylvania” yang penuh monster dan hantu, atau bahkan “Casper the Friendly Ghost” yang sejak dulu mengenalkan konsep mahluk tak kasat mata pada anak-anak-semua film itu diterima dengan tangan terbuka tanpa gegap gempita tentang akidah. Tidak terdengar ada peringatan keras di ruang publik. Tidak ada fobia massal.

Mengapa kini, ketika karya serupa hadir dari negeri sendiri, suara lantang tentang akidah tiba-tiba menggema? Apakah ini refleksi dari kecenderungan sosial kita yang gampang membedakan antara kritik dan kekhawatiran berlebihan? Atau jangan-jangan, ini gejala lama yang terus berulang: ketidakmampuan sebagian masyarakat menerima keberhasilan anak bangsa dengan lapang dada?

Film “Jumbo” mungkin tidak sempurna. Tapi satu hal yang pasti, ia telah berhasil memantik diskusi nasional tentang apa yang layak dan tidak layak untuk anak. Dan barangkali, ditengah banjir konten dangkal, perdebatan seperti ini adalah pertanda baik: bahwa kita masih peduli pada narasi.

Atau seperti kata Don di akhir film: “Keajaiban itu bukan soal siapa yang hebat, tapi siapa yang berani mencoba.”

Dan mungkin, keberanian itu termasuk mengajak anak bicara tentang roh, arwah, duka dan mimpi-dengan cara yang jujur, dan tentu saja, tanpa perlu menakut-nakuti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *