Film Jumbo produksi Visinema Studios tengah ramai diperbincangkan. Bukan sekadar premisnya yang unik atau sinematografi yang ciamik, tapi juga karena harapan besar: bisa masuk shortlisted nominasi Piala Oscar 2026. Sebuah ambisi yang, di satu sisi, patut diapresiasi-tapi disisi lain, tak bisa lepas dari sorotan kritis.
Mari kita luruskan dulu satu hal: mimpi adalah bahan bakar industri kreatif. Tanpa mimpi, tak akan ada Laskar Pelangi, tak akan ada Ngeri Ngeri Sedap, apalagi film Flow-sang pemenang Oscar 2025-yang di produksi Latvia dengan bantuan Prancis dan Belgia (ya, Latvia! Siapa sangka?). Film itu datang diam-diam, tanpa gegap gempita, tapi berhasil membawa pulang patung emas prestisius tersebut.
Kemenangan film Flow menjadi pelajaran penting: Oscar bukan tentang negara besar atau studio raksasa. Ini tentang cerita yang menyentuh, teknik yang brilian, dan kadang-sedikit keberuntungan internasional. Jadi apakah film Jumbo punya peluang? Tentu bisa. Tapi mari kita jujur: apakah film Jumbo cukup kuat untuk bersaing di tengah derasnya arus film-film global yang makin progresif, eksperimental, dan emosional?

Secara produksi, Visinema bukan pemain kemarin sore. Mereka punya rekam jejak baik dalam membangun cerita yang dekat dengan penonton lokal. Namun, Oscar menuntut lebih: cerita yang menggugah secara universal, bukan hanya nasional. Film Jumbo harus bisa bikin New york, Paris, Los Angeles bahkan (mungkin) seluruh dunia sama-sama berlinang air mata atau terpingkal dalam tawa. Dan jangan lupa: Oscar juga permainan kampanye. Tanpa strategi rapi, bahkan mahakarya bisa terlewat.
Kita tentu ingin melihat merah putih berkibar di panggung Academy Awards. Tapi harapan tak kunjung berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh kerja keras, keberanian untuk tampil beda, dan-yang paling penting-kerendahan hati untuk terus belajar dari yang terbaik.
Jadi, untuk film Jumbo dan Visinema, serta kita semua, semoga mimpi ini bukan hanya mengudara, tapi juga mendarat mulus di Dolby Theater. Dan untuk kita semua: mari dukung, sambil tetap kritis. Karena film hebat lahir dari harapan, dan bertahan lewat kwalitas.