Euforia Film “Jumbo” dan Tamparan Animasi untuk Industri Film Indonesia yang Latah, Capek, dan Terjebak di Horor Viral Basi

Kita hidup di era di mana thread horor di Twitter bisa berubah jadi film layar lebar, dan itu bukan kabar baik. Setiap bulan ada film baru dengan judul kayak status WhatsApp tante-tante: “Jangan Pernah Datang ke Desa Itu“, “Karma Kamar Nomor 4 di Dusun Angker“, “Boneka Ini Pernah Ketawa Sendiri di Sini“.

Entah kenapa, para produser film Indonesia seperti mengalami sindrom FOMO berjamaah. Begitu ada thread horor viral, langsung buru-buru dibeli hak ciptanya, ditulis ulang secepat mungkin, dan jadilah film setan yang “diangkat dari kisah nyata” padahal isinya 90% (mungkin hanya) ngarang.

Lalu datanglah film “Jumbo”. Sebuah film animasi (iya, animasi), tentang anak kecil bernama Don yang kehilangan buku cerita peninggalan orang tuanya. Tanpa setan. Tanpa desa angker. Tanpa narasi “berdasarkan thread viral di TikTok atau twitter (sekarang lebih dikenal sebagai X) yang katanya serem banget tapi ternyata enggak.

”Dan apa yang terjadi? Film ini meledak.

Film “Jumbo” (foto: Visinema Studios)

10 Juta Penonton, Satu Film, Tanpa Gimmick. Apa Kabar Film Horor Latah?

Film “Jumbo” bukan cuma menang. Film ini membabat rekor. Lewat angka 10.060.000 penonton (dalam 63 hari), “Jumbo” secara resmi mengalahkan KKN di Desa Penari sebagai film Indonesia dengan penonton terbanyak sepanjang masa.

Dan yang bikin hasilnya makin memalukan bagi industri horor: “Jumbo” cuma punya satu versi. Gak ada “extended cut”. Gak ada edisi “lebih panjang sedikit dengan adegan tambahan yang gak penting”. Gak ada versi “ulang tahun film ini”.

Sementara film horor? Banyak yang penontonnya tembus 5 juta setelah dihitung dari tiga versi berbeda dan satu re-run di bulan puasa. Maaf, tapi itu kayak minta medali emas dari lari estafet padahal lo lari sendirian tiga kali. Miris.

Ketika Kreativitas Kalah Sama Algoritma

Salah satu penyakit kronis industri film kita adalah ketergantungan pada viralitas instan. Kalau satu thread horor rame, langsung dijadikan film. Kalau satu formula laku, langsung diulang sampai tumpul. Naskah gak lagi ditulis berdasarkan gagasan orisinal, tapi berdasar engagement rate dan jumlah komentar netizen yang bilang “bikin filmnya dong kak!”

Masalahnya? Viral itu cepet basi. Dan penonton kita makin pintar. Mereka bisa bedain mana film yang niat dan mana yang cuma nyari momentum.

“Jumbo” adalah bukti bahwa karya yang dibuat dengan tulus, sabar, dan gak terburu-buru mengejar tren bisa jauh lebih relevan dan bertahan lama.

Cerita Anak yang Lebih Dewasa dari Industri Film Itu Sendiri

Don, si tokoh utama “Jumbo”, adalah anak kecil yang kehilangan. Tapi dia gak cari sensasi. Dia gak bikin thread. Dia gak manggil arwah lewat TikTok. Dia cuma pengen tampil di panggung, bawa cerita warisan orang tuanya. Dan dari situ, film ini tumbuh. Menggugah, menyentuh, tanpa harus norak.

Sementara sebagian besar film horor Indonesia? Dewasa secara umur rating, tapi kekanak-kanakan dalam eksekusi. Takut kehilangan tren. Takut gak viral. Takut gak ada setan yang cukup lucu untuk dijadiin meme.

Euforia Bioskop Itu Nyata, Tapi Bukan Buat Film Setan Lagi

Yang bikin prestasi “Jumbo” makin menyakitkan untuk industri horor adalah ini: film ini bikin orang balik lagi ke bioskop. Rame-rame. Tanpa takut. Tanpa rasa kapok.

Padahal beberapa bulan lalu, bioskop kita mulai sepi lagi. Bukan karena pandemi, tapi karena film-filmnya ngebosenin. Judul beda, tapi semua terasa sama. Atmosfer murahan. Plot twist kering. Ending yang dipaksakan buat bikin sekuel.

Dan sekarang? Semua itu dibabat habis oleh film anak-anak animasi lokal. Ironis? Enggak. Ini karma.

Akhir Kata: Kalau Masih Latah, Ya Siap-Siap Tertinggal

“Jumbo” bukan cuma film sukses. Ini sinyal. Sinyal bahwa penonton sudah bosan dibohongi rasa takut palsu. Sinyal bahwa pasar bukan lagi cuma soal “mana yang laku,” tapi juga “mana yang layak.

IIndustri film Indonesia punya pilihan: terus jadi mesin penggiling thread horor Twitter, atau bangkit bikin cerita yang benar-benar penting. Yang punya jiwa. Yang gak bikin kita keluar dari bioskop sambil mikir, “Lah, ini mah sama aja kayak yang bulan lalu.”

Kalau masih keras kepala, ya siap-siap aja ditikung lagi. Bukan cuma sama film animasi. Tapi mungkin… sama video YouTube anak SMP yang ceritanya lebih masuk akal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *