Review “Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah” : Potret Keluarga Retak yang Menyayat dan Menguatkan

Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah adalah sebuah drama keluarga yang menyentuh banyak lapisan, sekaligus membuka ruang refleksi mengenai arti rumah tangga yang pincang. Film ini berangkat dari isu yang sangat relevan: absennya peran ayah, atau yang kerap disebut fatherless. Sebuah kenyataan pahit yang dialami begitu banyak keluarga, dan di sini disajikan dengan penuh emosi sekaligus kelembutan.

Sejak menit awal, film berhasil menyajikan potret keseharian yang terasa otentik: pagi hari yang riuh, anak-anak yang bertumpu pada ibu, sementara figur ayah sekadar hadir sebagai latar tanpa bobot. Dari sini, narasi menggelinding ke pertanyaan mendasar yang sekaligus menohok: mengapa sang ibu menikahi ayah, dan mengapa masih bertahan? Pertanyaan sederhana, tetapi justru menyisakan ruang kontemplasi yang dalam.

Secara emosional, film ini memiliki daya gedor yang kuat. Ada banyak momen yang menusuk sekaligus menghangatkan: kasih sayang seorang ibu yang tak pernah habis, kebersamaan anak-anak yang kadang getir, hingga letupan konflik yang sulit dielakkan. Penonton diajak menelusuri luka, cinta, dan kerumitan emosi yang hidup dalam keluarga semacam itu.

Di balik kekuatan tematiknya, ada sejumlah catatan yang tak bisa diabaikan. Durasi yang panjang membuat beberapa adegan berulang, seakan terjebak dalam lingkaran konflik yang sama. Subplot mengenai figur ayah terasa belum tergarap utuh, sehingga alih-alih menambah kedalaman, justru menciptakan kesan “terlalu banyak hal yang dipaksakan masuk.” Naskah yang cenderung melodramatis pun sesekali melemahkan intensitas emosinya, membuat sebagian adegan terasa berat sebelah.

Meski demikian, kualitas akting menjadi penopang utama. Eva Celia, Amanda Rawles, dan Nayla Purnama menghadirkan dinamika yang seimbang, dengan detail emosi yang berlapis. Sha Ine Febriyanti memberi fondasi kokoh lewat perannya sebagai ibu, menghadirkan keteguhan sekaligus rapuh dalam satu wajah. Bucek Depp, meskipun tokohnya hadir sebagai sosok ayah yang problematis, tetap memberikan bobot yang signifikan.

Secara visual, film ini menemukan kekuatan dalam kesederhanaan. Rumah sebagai latar utama tak sekadar ruang fisik, tetapi menjelma metafora: penjara dan suaka, tempat luka sekaligus penghiburan. Setiap detail terasa hidup—bukan dekorasi artifisial, melainkan ruang yang benar-benar bernafas.

Pada akhirnya, Andai Ibu Tidak Menikah Dengan Ayah bukanlah film yang sempurna. Ia rapuh dalam struktur, sesekali repetitif, dan masih terjebak dalam melodrama. Namun justru di situlah letak daya hantamnya: ia hadir sebagai potret keluarga yang tidak pernah benar-benar utuh, tetapi selalu berusaha bertahan. Film ini tidak memberikan jawaban, melainkan meninggalkan pertanyaan—dan mungkin, di situlah kekuatan paling jujurnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *