Selamat ulang tahun, Jakarta! Di usia yang ke-498 ini, ibu kota kita tercinta akhirnya punya cita-cita baru selain macet dan banjir: menjadi kota sinema. Ya, kamu tidak salah dengar. Di tengah tumpukan kabel semrawut, gedung pencakar langit yang penuh billboard skincare, dan suara knalpot brong yang lebih keras dari argumen DPR, Jakarta ingin menjelma jadi semacam Hollywood KW dengan vibe penuh “nusantara”.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno—aktor veteran yang sekarang duduk di kursi kekuasaan—baru-baru ini menegaskan misi suci ini: menjadikan Jakarta sebagai “kota sinema”. Katanya, Jakarta butuh festival film yang lebih berkelas dari Jakarta Film Week. Bukan cuma kumpul indie hipster dan bazar kopi susu, tapi festival internasional sungguhan yang isinya kompetisi serius, film blockbuster, sampai ruang kritik tajam. Kalau bisa, festivalnya jangan cuma buat pajangan di IG stories, tapi juga bisa dibanggakan di panggung Cannes. Ya, Cannes. Kota yang bahkan mungkin belum sempat dengar lagu “Ojo Dibandingke”.
Rano Karno berjanji pemerintah siap kasih fasilitas, undang para ahli, dan tentu saja bikin red carpet yang lebih mulus dari trotoar Sudirman. Mimpi besar? Jelas. Tapi siapa tahu, dengan tekad dan APBD yang cukup, Jakarta bisa punya satu lagi prestasi: bukan cuma juara kemacetan Asia Tenggara, tapi juga juara layar lebar.
Tapi sebelum kita terbuai terlalu dalam oleh wacana dan mimpi basah perfilman, mari kita lihat ke belakang. Beberapa film sebenarnya sudah lebih dulu menyuarakan denyut kehidupan Jakarta. Ada yang bikin kita meringis, tertawa getir, bahkan pengin pindah ke desa.
Jakarta di Mata Para Sineas: Absurd, Manis, dan Ganjil
1. Jakarta Undercover (2007 & 2017)
Adaptasi dari buku Moammar Emka ini bukan buat ditonton sambil makan popcorn. Ia menggambarkan sisi malam Jakarta yang bukan cuma gelap, tapi juga licin dan penuh intrik. Dunia gemerlap yang kalau disentuh bisa bikin tanganmu bau dosa.
Dibintangi oleh Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar, Oka Antara, Baim Wong sampai Nikita Mirzani.

2. Jakarta vs Everybody (2022)
Seorang pemuda merantau ke Jakarta buat jadi aktor, tapi berakhir jadi kurir narkoba. Jakarta, tempat di mana cita-cita bisa berubah jadi dakwaan pasal 114 UU Narkotika.
Diperankan oleh Jefri Nichol, Wulan Guritno, Ganindra Bimo dan Jajang C. Noer

3. Sanubari Jakarta (2012)
Omnibus yang nyeritain cinta dengan latar urban. Tapi ini bukan cinta ala romcom dengan bunga dan lilin. Ini cinta yang terjebak macet, dikibuli janji kontrakan, dan berakhir di tempat makan padang sambil nunggu balasan chat.
Diperankan oleh Pevita Pearce, Dinda Kanya Dewi sampai Deddy Corbuzier.

4. Selamat Pagi, Malam (2014)
Tiga perempuan menjalani malam di Jakarta. Film ini bikin kita sadar: Jakarta bukan kota yang terang, tapi kota yang selalu menyembunyikan sesuatu di balik lampu-lampunya. Kadang luka, kadang rindu, kadang cuma pengin pulang.
Diperankan oleh Adinia Wirasti, Marissa Anita dan Dira Sugandi.

5. Jakarta Jakarta (1978)
Film klasik yang menggambarkan kerasnya Jakarta era 1970-an. Ternyata sejak dulu Jakarta memang sudah jago bikin orang stres. Bedanya dulu belum ada Twitter buat curhat.
Diperankan oleh El Manik, Ricca Rahim dan Deddy Sutomo

6. Belkibolang (2011)
Omnibus tentang kehidupan malam Jakarta. Film ini semacam potongan-potongan puzzle tentang orang-orang yang hidup di sela-sela waktu, ketika kota sudah terlalu lelah tapi belum juga tidur.
Diperankan oleh Marsha Timothy, Dwi Sasono, sampai Desta.

—
Jadi, Apa Jakarta Siap Jadi Kota Sinema?
Tentu saja siap. Bukankah kita selalu siap untuk hal-hal besar, asal tidak ditagih hasilnya? Tapi sebelum Jakarta bisa jadi kota sinema, mungkin ada baiknya kita bereskan dulu dramanya sendiri. Drama di jalanan, drama di pemerintahan, drama di penggusuran, sampai drama WiFi publik yang cuma bisa connect di pojokan taman.
Jakarta tidak kekurangan cerita. Tapi apakah kota ini benar-benar mencintai cerita, atau hanya ingin jadi panggung untuk citra?
Kalau memang mau jadi kota sinema, jangan cuma mimpi soal Cannes. Bangun dulu sistem yang dukung pekerja film dari akar—dari penulis, kru, sampai bioskop komunitas yang nggak dibubarkan karena “tidak berizin”. Jangan cuma kasih karpet merah buat film festival, tapi tutup mata waktu bioskop kecil digusur atau proyek film mandiri dipersulit izinnya.
—
Epilog di Usia 498
Di usianya yang ke-498, Jakarta belum sempurna. Tapi ia tetap rumah bagi jutaan cerita, tawa pahit, dan harapan yang bandel. Kota ini mungkin tidak pernah ramah, tapi selalu penuh narasi. Jadi, kalau memang ingin jadi kota sinema—jangan cuma main lighting. Tunjukkan isi naskahnya.
Dan semoga saja, di usia 500 nanti, Jakarta bukan hanya punya festival film, tapi juga film tentang Jakarta yang benar-benar jujur: tanpa filter, tanpa buzzer, dan tanpa sensor. Semoga!